Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Clay-Art, Serba Mini di Tangan Yeny

Kompas.com - 23/01/2011, 12:38 WIB

KOMPAS.com - Ingin merasakan seperti apa menjadi seorang raksasa seperti tokoh dongeng Gulliver? Cobalah memegang benda-benda miniatur buatan Maria Yeny (32) yang menekuni miniatur clay-art sejak tahun 2003.

Kalau kita berkunjung ke rumah Yeny di Perumahan Taman Mahkota, Rawa Bokor, Jakarta Barat, ia akan sukarela mengeluarkan berbagai jenis ”makanan” koleksinya. Semuanya tampak lezat dan menggiurkan.

Ada cake ulang tahun, aneka jajanan pasar, masakan cumi dan kepiting, ayam goreng, tumpeng, nasi goreng, es krim, atau es campur. Kalau belum puas, bisa memilih buah-buahan seperti jeruk, manggis, jambu, pepaya, mangga, pisang, atau aneka macam sayuran seperti bunga kol, tomat, wortel, dan brokoli.

Namun, makanan koleksi Yeny tadi tentunya tidak bisa dimakan karena terbuat dari clay. Clay adalah semacam bahan yang menyerupai lilin, mudah dibentuk, liat, lembut, dan tidak beracun. Selain itu, makanan buatan Yeny tadi juga berukuran mini.

Satu peti jeruk mandarin, misalnya, lebih kurang hanya seukuran kotak korek api. Cake buatan Yeny juga hanya berdiameter sekitar dua sentimeter. Replika makanan, minuman, buah-buahan, dan sayur-sayuran itu lalu ditata Yeny di gerobak, peti kayu, tampah, atau piring yang juga berukuran mini. Maka, jadilah hasil karyanya menjadi replika miniatur gerobak bakso, rujak, keranjang pikulan pedagang buah, dan lain-lain. Semuanya lengkap dengan isinya.

Yeny bahkan membuat lemari kecil yang kemudian penuh dengan berbagai jenis kue, piring kecil, dan hiasan lemari lainnya. Ia juga pernah membuat jagrak atau stan pedagang majalah atau perpustakaan kecil lengkap dengan buku-bukunya.

Dari rumahnya, Yeny menjalankan bisnis clay-art yang kini sudah berjalan lebih dari tujuh tahun. Awalnya, ia hanya sekadar mencoba-coba membuat clay-art. ”Saya mengenal seni clay dari teman yang pernah sekolah di luar negeri,” kata Yeny, Kamis (20/1/2010) lalu di Jakarta.

Kalau temannya membuat clay-art hanya sekadar iseng, Yeny justru jatuh cinta dengan seni itu. Ia terus menekuni clay-art hingga kemudian menjadi bisnis yang lumayan menghidupi ibu dua anak ini. Ketika masih belajar clay-art, replika pertama yang dibuat Yeny adalah berbagai macam bentuk bunga. Replika bunga buatannya pada waktu itu masih belum berukuran mini. Salah seorang saudara Yeny yang memiliki toko tertarik lalu membeli karya Yeny untuk dipajang di tokonya. Ternyata laku.

Dari situlah Yeny mulai terpikir untuk menekuni clay-art dengan serius. Hanya saja ia mulai menggabungkan kecintaannya pada benda-benda mini dengan keahliannya membuat clay-art. Sejak saat itu clay-art buatan Yeny semuanya berukuran mini. Ia sendiri sejak remaja sudah hobi dan mengoleksi hiasan berukuran mini.

Dari bunga, bentuk clay-art yang dibuat Yeny pun berkembang semakin banyak. Satu tahun kemudian, yaitu pada tahun 2004, ia membuka toko sendiri di ITC Kuningan, Jakarta, dengan nama Hany Craft. Sayangnya toko itu hanya buka dua tahun lalu tutup. ”Saya melahirkan dan harus mengurus anak-anak,” kata Yeny.

Kolektor
Sejak punya anak, Yeny mengelola bisnisnya ini secara online dengan membuka website www.tokohany.com dan www.hanycraft.com. Melalui website inilah pembeli menjenguk toko Yeny lalu memesan hasil karyanya.

Menurut Yeny, pelanggannya datang dari berbagai daerah. Selain diminati kolektor, karya Hany juga dilirik instansi perkantoran juga produsen kerajinan lainnya. ”Produsen kerajinan ini membeli barang dari saya lalu ditempelkan pada produk kerajinan mereka,” tutur Yeny.

Sedangkan kolektor yang datang ke Yeny biasanya adalah penggemar rumah boneka, seperti mainan Barbie. Mereka memiliki rumah-rumahan Barbie lalu meminta Yeny untuk mengisi pernak-pernik rumah boneka tadi.

Barang yang akan dimasukkan ke rumah boneka ini tergantung tema. Kalau kolektor ingin membuat tema pesta, misalnya, Yeny mengisi rumah Barbie dengan benda-benda dan makanan untuk pesta, seperti cake, es krim, kue-kue kecil, dan lain-lain.

Ia pernah diminta mengisi rumah boneka bertema rumah Betawi. Si kolektor ingin ada cerita tamu yang datang ke rumah bonekanya. Maka Yeny pun membuat miniatur suguhan kopi ditambah satu piring pisang goreng yang diletakkan di atas meja tamu.

Harga produk buatan Yeny bervariasi, dari Rp 15.000 hingga Rp 1 juta. Harga tersebut ditentukan oleh tingkat kesulitan, lamanya pengerjaan, dan bahan-bahan yang digunakan.

Yeny punya pengalaman kedatangan pembeli yang ingin dibuatkan clay-art untuk cendera mata perkawinannya. Karena ingin menekan pengeluaran, pasangan calon pengantin tadi menawar produk Yeny semurah mungkin. Padahal, karya yang dibuat Yeny tadi memiliki tingkat kesulitan cukup tinggi.

Yeny lebih senang membuat clay-art kebutuhan kolektor. Para kolektor, kata Yeny, bisa menghargai nilai seni. Bagi Yeny, hasil karyanya itu dipandang lebih sebagai nilai seni daripada sekadar sebagai aksesori hiasan.

Detail, tekun, teliti
Agar bisa terus menghasilkan karya-karya clay-art, Yeny harus mendatangkan bahan baku clay dari beberapa negara seperti Jepang, Korea, Thailand, China, dan Jerman. Meski bernama clay yang artinya tanah liat, bahan baku clay tadi terbuat dari polymer. Menurut Yeny, bahan baku itu harus diimpor karena belum ada di Indonesia.

Yeny tidak tahu dari mana kerajinan clay-art itu berasal, tapi di negara-negara yang disebutkan tadi, seni itu sudah berkembang. ”Kalau kita jalan-jalan ke Jepang, misalnya, karya seni clay-nya bagus-bagus. Mereka tekun membuat detail sehingga bentuk dan warna miniatur tadi tampak seperti aslinya,” tutur Yeny.

Proses pembuatan kerajinan clay-art tidak mudah. Polymer clay yang warnanya putih ini lebih dulu dicampur dengan cat minyak untuk menghasilkan warna dasar yang diinginkan. Untuk membuat roti misalnya, cukup menorehkan warna coklat pada bahan polymer clay tadi dengan pinset. Lalu dengan tangan, clay tadi ditekan-tekan agar warnanya tercampur. Setelah itu, clay tadi dibentuk menjadi benda yang kita inginkan.

Proses paling rumit adalah membuat detail agar bentuk yang dibuat tadi mirip dengan aslinya. Yeny mengaku harus rajin-rajin mengamati tekstur benda-benda yang ditemuinya dalam kehidupan sehari-hari. Terkadang ia pergi ke supermarket bukan untuk membeli barang, tetapi mengamati tekstur benda yang akan dia buat. Ia juga rajin membuka foto-foto di internet.

Buah jeruk impor, misalnya, tekstur kulitnya agak kasar dibandingkan jeruk lokal Indonesia. Lalu dengan pinset tajam ia membuat tusukan kecil-kecil pada miniatur jeruk yang ia buat.

Lalu proses terakhir adalah mewarnai. Bagi mereka yang tidak telaten dengan pekerjaan halus, mewarnai benda mini tentu sulit. Namun, bagi Yeny, mewarnai benda-benda mini justru menjadi keasyikan tersendiri. ”Rasanya puas bila saya bisa mewarnai persis dengan aslinya,” tutur Yeny.

Untuk membuat miniatur clay-art, Yeny mengaku tidak menggunakan skala, melainkan hanya mengandalkan perasaan. Misalnya saja, kalau ada orang ingin dibuatkan kue-kue dalam piring untuk hiasan meja pada rumah bonekanya, ia akan meminta orang tadi mengukur dimensi meja dan mengukur tinggi bonekanya. Dari situlah ia mengira-ngira ukuran benda yang akan dibuatnya.

(Lusiana Indriasari)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com