Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dewi Makes: Komitmen untuk Pendidikan Anak

Kompas.com - 05/06/2012, 09:22 WIB

KOMPAS.com - Sepoi angin di atas bukit, puncak Candi Borobudur di kejauhan, langit tanpa awan yang memayungi siang, senyum teduh Dewi Julia Pramitarini Makes (48) dan aroma Bvlgari yang bersenyawa dengan segarnya bau rumput. Ini sungguh suasana yang langka.

Siang itu, Dewi menemani tamunya menikmati keindahan panorama dari bukit tertinggi kawasan resort yang dikelolanya, di Desa Tanjungan, Mendut, Jawa Tengah.

Di siang yang lain, Dewi sibuk memberi instruksi pengaturan ruangan yang akan dipakai untuk rapat suatu perusahaan, di salah satu function house yang dikelolanya bersama 16 unit apartemen bersegmen khusus di daerah Jakarta Selatan.

”Kalau di Jakarta, waktunya dibagi untuk tiga function house. Secara berkala saya pergi ke Yogya, Bali, dan Flores, melihat perkembangan bisnis jasa hospitality kami dari dekat,” ujar Dewi, yang antusias menjelaskan konsep resort terapung di atas empat kapal Phinisi di perairan Flores.

Jatuh cinta
Dewi adalah sosok kosmopolit, warga dunia. Ia bisa terbang ke mana saja di dunia, kapan saja ia mau. Paris adalah tujuan favoritnya. Ia pernah tinggal beberapa tahun di kota yang serba gemerlap itu.

Akan tetapi, seperti dikatakannya, ”Saya tidak bisa seenaknya pergi karena ada jadwal tetap untuk mengajar. Saya suka mengajar, selain ada tanggung jawab lain.”

Tanggung jawab yang tak bisa ditinggal itu terkait upayanya membantu anak-anak terbebas dari kondisi ketidakadilan. ”Kalau untuk soal ini sebenarnya lebih dari tanggung jawab ya,” ia menuturkan, ”Itu passion saya....”

Dewi selalu punya cukup waktu untuk mengunjungi anak-anak ke pelosok Nusantara. Di lapangan, ia melepaskan semua atributnya sebagai warga kelompok lapis tipis teratas dalam struktur sosial-ekonomi masyarakat Indonesia. Di antara anak-anak di desa-desa di ujung Indonesia, Dewi lebih dilihat sebagai ibu yang membawa harapan masa depan.

Ia berkisah, di satu dusun di ujung Singkawang, Kalimantan Barat, ia menginap di rumah penduduk. ”Tidur di atas gelaran tikar, makan bersama mereka, melihat bagaimana mereka hidup sehari-hari,” kenang Dewi.

Di situ, ibu empat anak itu jatuh cinta pada seorang anak perempuan berusia tujuh tahun yang duduk di kelas II SD. ”Matanya sangat bening, cantik sekali...,” ia kembali mengenang, ”Wajahnya tinggal di dalam ingatan saya. Saya ingin memberi beasiswa jangka panjang untuk dia.”

”Hope Ambassador”
Di pelosok-pelosok itu, Dewi bertemu ratusan anak dengan potensi besar tetapi penuh keterbatasan. Meski ada kebijakan khusus, seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan ada program wajib belajar sembilan tahun. Namun, ia mengamati, jaminan atas hak-hak anak, khususnya hak atas pendidikan, masih terasa mewah bagi banyak anak.

”Masih banyak anak tidak beruntung dan hidup dalam kondisi ketidakadilan, ” ia menambahkan, ”Hidup mereka kurang layak, tak bisa makan tiga kali sehari, kurang gizi, tak bisa sekolah, dan harus bekerja untuk membantu ekonomi keluarga.”

Dewi mengisahkan pertemuannya dengan anak-anak usia sekolah dasar yang bekerja di kebun karet dan di tambang-tambang emas rakyat. ”Saya sangat terpukul melihat melihat kondisi mereka....”

Situasi itulah yang membuat Dewi membuat komitmen untuk membantu pendidikan anak-anak. ”Saya ingin mengajak lebih banyak teman kelas menengah untuk bertindak, membantu pendidikan anak-anak di berbagai pelosok yang jumlahnya sangat banyak,” tuturnya.

Dewi bergabung dengan Wahana Visi Indonesia (WVI), suatu organisasi non-pemerintah di bidang kemanusiaan yang terfokus pada anak. Ia berhasil mengumpulkan sumbangan beasiswa untuk lebih 400 anak, dan dipilih menjadi satu dari 16 Hope Ambassador WVI.

Organisasi itu menyantuni dan mendampingi anak-anak dan keluarganya pada 40 lokasi program pengembangan masyarakat, tersebar di sembilan provinsi, termasuk Aceh.

Dewi merasa nyaman bergabung dengan WVI karena organisasi itu transparan dan bekerja dengan pemahaman bahwa persoalan kemiskinan, penderitaan, dan penindasan tak bersekat. ”Realitas perbedaan sangat dihormati sehingga ruang kemanusiaan terbuka lebar,” tuturnya.

Batas langit
Pendidikan anak merupakan wilayah kerja sosial keluarga Makes sejak lama. Bersama suaminya, Yozua Makes—pemilik Firma Hukum untuk Keuangan, Makes and Partners—Dewi mendirikan yayasan sosial di bidang beasiswa untuk pendidikan anak.

Ia meletakkan cita-citanya di situ: membuat hidupnya bermakna dan menjadi berkat bagi orang lain. ”Sebagai perempuan, saya percaya, sky is the limit,” ujarnya.

Dengan kerja sosial itu, ia juga mendidik anak-anaknya untuk mengoptimalkan talenta yang dimiliki, punya motivasi tinggi, serta bertanggung jawab pada hidup dan Sang Pencipta Kehidupan.

Yayasan sosial itu membutuhkan banyak dana sehingga memicunya bekerja keras. Meski punya bakat di bidang bisnis, Dewi harus belajar banyak tentang bisnis jasa di bidang hospitality.

”Saya belajar pada dosen luar biasa,” ujarnya dengan tawa berderai, ”Namanya Jozua Makes....”

Memegang tradisi
Suatu pagi, dengan suara ceria Dewi mengabarkan, ”Anak kami yang kedua diterima di Fakultas Kedokteran UI, tanpa tes, setelah hasil ujiannya keluar. Dia memang ingin sekali kuliah di situ… Tuhan sungguh Mahabaik....”

Dewi merasakan banyak keberuntungan dalam hidupnya. Ia mampu membiayai putri sulungnya belajar ke Amerika Serikat, tetapi Anandita (21) berangkat ke college di AS dengan beasiswa tiga tahun lalu. Banyak keajaiban ditemuinya, yang dipahami orang sebagai ”keberuntungan”, termasuk pilihan bisnisnya.

Begitulah. Meski hidup berkecukupan, ia tak meninggalkan laku tirakat yang diwariskan secara turun-temurun dari para sepuh. Dewi mengaku menjalani puasa Senin-Kamis hampir sepanjang hidupnya sebagai istri dan ibu, ditambah puasa weton pada hari lahir dirinya, hari lahir anak-anaknya, dan suaminya. ”Supaya selamat menjalani hidup,” ungkapnya.

Anak ketiga dari lima bersaudara itu memang dibesarkan dalam tradisi Jawa yang cukup ketat. Ibunya mengajari anak-anaknya untuk selalu menjalani laku tirakat. ”Ibu dulu melakukan yang sekarang saya ikuti. It works...,” tuturnya.

Warisan budaya
Dewi bertemu Yozua ketika keduanya kuliah di Universitas Indonesia. Yozua kuliah di Fakultas Hukum, Dewi di Sastra Perancis. Namun sebenarnya, ”Saya ingin jadi arsitek,” kenangnya.

Ia memang diterima di jurusan arsitektur suatu universitas swasta, tetapi pada saat bersamaan, ia diterima di Sastra Perancis UI. Pilihannya ke UI menjadi seperti blessing in disguise. ”Kuliah itu mengantar saya mencintai bahasa Perancis dan bidang pendidikan sehingga saya memutuskan untuk mengajar.”

Namun, kecintaannya pada arsitektur tak padam. Kemudian malah tersalurkan dalam pembangunan tiga resort di Mendut dan Bali yang setara hotel bintang lima, serta apartemen milik keluarga itu. Ia pula yang memilih perabotan dan memadu-padankan.

Nuansa kayu mendominasi bangunan dan perabot di dalam resort dan function house milik keluarga itu. Dewi juga tak segan berburu perabot-perabot kayu lama untuk dirawat dan difungsikan. ”Kayu itu sangat Indonesia, warisan budaya Nusantara,” ujarnya.

Pilihan pada bisnis jasa di bidang hospitality juga seperti kebetulan, meski tak ada yang kebetulan kalau orang meyakini notion, like attracts like. Awalnya, keluarga itu menginvestasikan uangnya di bidang properti. Kemudian datang kesempatan, ketika ada yang ingin menjual bangunan apartemen, dengan klien ”fanatik”. Itulah awal dari bisnis jasa di bidang hospitality yang ditekuni sejak tahun 2007.

Bisnis itu tak hanya membuka lapangan kerja, tetapi juga menjadi wahana edukasi bagi karyawannya. Dewi ingin agar karyawan memaksimalkan kemampuan yang dimiliki, punya motivasi tinggi, dan menjadi profesional di bidangnya.

”Mereka pandai-pandai dan hebat,” ujarnya. C'est une question de chance....

(Maria Hartiningsih)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com