Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Rahasia Makna di Balik Nama dalam Label Makanan

Kompas.com - 30/10/2017, 19:23 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

Saya masih ingat betapa sulitnya menjelaskan kepada pasien yang ngotot mengatakan coklat ‘berantioksidan’ yang dimakannya tiap hari, dengan harapan umur panjang, adalah bebas gula.

Gula tersembunyi masih belum dipahami bahwa mereka pun penyebab masalah besar di kemudian hari.

Sebutlah dextrose,maltose, sucralose, hingga high fructose corn syrup (di Indonesia diperlembut jadi gula jagung – seakan-akan begitu alami) bahkan madu – yang sekali lagi, kaya akan fruktosa.

Begitu orang secara nalar mengandaikan apa yang dia makan ‘lebih alami’ – maka istilah kebablasan akan mudah terjadi. Nasehat dokter ‘sesekali dikonsumsi’, tidak lagi dianggap sebulan sekali atau seminggu sekali, melainkan diasumsikan ‘sekali setiap kali makan’.

Yang lebih menarik lagi, dan rasanya hanya di Indonesia, produk kemasan dengan vetsin, micin, atau Mono Sodium Glutamat (MSG) ditulis dengan istilah Mononatrium Glutamat. Mulai dari yang mengaku sambal kemasan dan botolan hingga makanan kemasan yang dianggap camilan.

Bisa jadi publik dianggap masih begitu bodohnya untuk tidak bisa memahami bahwa sodium dan natrium adalah unsur mineral yang sama, bedanya hanya yang satu istilah berbahasa Inggris sedangkan satunya nama kimianya.

[Baca juga : Tingkat Kepercayaan: Edukasi, Inspirasi atau Sensasi?]

Sementara akademisi di luar sana gigih mengedukasi publik dan membuat mata melek, di negri ini justru sebagian orang pandai membela industri yang ikhlas membayar hasil ‘edukasi pro perusahaan’. Sementara yang pandai sungguhan dan jeli memilih untuk diam, ketimbang membuat masalah.

Alhasil pendapat keblinger sempat viral, yang menyatakan ASI dan MSG itu punya kandungan yang sama: asam glutamat.

Tepok jidat saja rasanya tidak cukup. Pemahaman ilmu yang hanya dikaji secara epistemologis tanpa menelusuri aspek ontologis menjadikan ilmuwan seperti kacang lupa kulit.

Begitu pula jika kajian aksiologis kedodoran, akhirnya istilah penemuan ilmiah demi ‘masa depan yang lebih baik’ bisa terpeleset menjadi ‘kebaikan masa depan segelintir orang’.

Sudah waktunya kita sungguh-sungguh melek, bahwa asam glutamat pada jaringan zat hidup, mulai dari ASI hingga otot, sama sekali berbeda sifatnya dengan asam glutamat yang dihasilkan oleh proses industri.

Seperti halnya fruktosa pada buah mangga sungguhan, tidak sama dengan fruktosa yang dibubuhi dalam cairan yang ‘rasanya seperti mangga’.

Akhir oktober bukan hanya diperingati saat bangsa kita bersatu secara nasional, tapi juga momentum kita menjadi tuan rumah Asia yang pertama untuk suatu forum besar tentang pangan, Asia-Pacific Food Forum.

Semoga bangsa kita menjadi pelopor kebangkitan pangan asalinya, sebagai bagian dari ketahanan nasional, yang memberi kehidupan yang sejahtera bagi seluruh rakyatnya.

[Baca juga : Mengapa Dunia Pengobatan Selalu Menarik?]

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com