JAKARTA, KOMPAS.com - Masih banyak anak muda yang enggan memakai busana dengan kain tradisional dengan sejumlah alasan, misalnya karena dianggap terlalu formal.
Meski begitu, saat ini sudah ada sejumlah anak muda yang mau dan senang memakai busana dengan kain tradisional di kesehariannya.
Jadi, sebenarnya faktor apa saja yang membuat anak muda mau memakai kain tradisional?
Desainer Ivan Gunawan menyoroti faktor harga dari kain tradisional yang bisa mencapai jutaan rupiah per lembarnya.
"Contohnya batik. Dengan brand-brand yang semakin banyak, harganya terjangkau jadi konsumen muda enggak harus beli batik yang selembarnya jutaan rupiah. Bisa beli batik dengan kantong sendiri," ujar Ivan seusai parade peragaan busana di Indonesia Fashion Week 2018, Rabu (28/3/2018) kemarin.
Ivan kemudian menyinggung teknik cetak Ulos yang digunakan desainer Ghea Panggabean untuk koleksi busana bertema budaya Batak Toba di IFW 2018.
Pilihan tersebut bisa menjadi salah satu cara menekan harga kain.
"Dimana kalau kain Ulos selembarnya Rp 2,5 juta kalau sudah diprint bisa jadi Rp 300-400 ribu. Bisa lebih memasyarakat," kata Ivan.
Ivan memahami jika teknik cetak tersebut menyakiti hati pengrajin kain tradisional. Namun, faktor harga menurutnya memang perlu dipertimbangkan jika ingin sebuah produk memiliki perputaran ekonomi yng cepat.
Cara lainnya adalah mengkombinasikan teknik cetak, kain polos dan sebagian kecil batik asli.
"Karena melihat dari piramida (ekonomi) bahwa yang ada di kelas menengah dan bawah yang harus lebih kita cukupi. Kalau yang ada di atas mereka enggak ada masalah beli batik sampai puluhan juta," katanya.
Bateeq, produsen pakaian batik siap pakai yang mengkhususkan pada pasar anak muda, adalah salah satu yang memikirkan hal itu.
CEO Bateeq, Michelle Tjokrosaputro menyampaikan anggapannya dulu bahwa batik memiliki kesan tua terhadap pemakainya.