KOMPAS.com - Tatang Heryana (66) mengambil sebatang rokok dan korek. Sambil merebahkan badan di kursi kayu, ia lalu menyalakan rokok itu.
"Ini baru sempat istirahat," ujar Tatang sambil menghela napas panjang, saat ditemuidi galerinya, di Jalan Pangarang, Kota Bandung, akhir pekan lalu.
Jarum jam menunjukkan pukul 13.30 WIB. Sejak pagi ia sudah menerima empat rombongan tamu dari Belanda.
Bulan Agustus ini memang jadi musim panen bagi wayang goleknya. Sebab, bulan ini menjadi masa puncak turis asing datang ke Bandung, dan membeli wayang.
"Pasar wayang saya turis asing. Biasanya turis-turis itu, terutama dari Eropa, datang pada Mei-Oktober."
Baca juga: Wayang Golek: Dakwah, Soekarno, hingga Bom Bali...
"Turis umumnya membeli wayang karena mereka suka, dan cinta budaya," tutur Tatang sambil sesekali menghisap rokoknya.
Namun, kisah ini berbeda jika sudah menyinggung masyarakat Indonesia. Warga lokal justru kian sedikit yang berkunjung ke galeri-galeri wayang seperti yang dimiliki Tatang.
Tatang menyebut, di luar bulan Mei-Oktober, masa itu disebut paceklik. Pada periode sepi itu dimanfaatkan Tatang untuk terus memproduksi wayang, untuk dijual di musim "panen".
Pembuatan satu kepala wayang membutuhkan waktu dua hari. Sebab karakter wajah menjadi yang tersulit dalam seluruh bagian pembuatan wayang.
"Ada 168 karakter dalam wayang, saya bisa mempelajari semuanya dalam tujuh tahun," ungkap dia.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.