“Saya suka naik gunung, saya suka alam. Makanya tahun 2010 memutuskan untuk pindah ke Bandung ikut (daftar) Wanadri,” imbuh dia.
Selama di Bandung, Sugiarto masih mengerjakan beberapa proyek konsultan hingga akhirnya ia dan seorang temannya memutuskan bisnis sepatu kelas premium.
Ia menilai, sepatu merupakan bisnis fashion yang paling unik. Karena meski dipakai di kaki, harganya bisa sangat tinggi bahkan tidak masuk akal.
Baca juga: Sagara, Melawan Bot “Asing” di Pasar Dunia dengan Nama Lokal...
Namun dalam sekejap bisninya merugi hingga Rp 300 juta dari modal Rp 400 juta yang dikeluarkan.
Kerugian terjadi karena sebagai pemain baru ia sulit bersaing memasarkan produknya. Sedangkan, sepatu yang ia produksi sudah telanjur banyak.
Saat ia bangkrut, beberapa teman memandangkan sebelah mata. Ada pula yang menjauh. Namun ia tidak peduli. Ia memilih bangkit dari keterpurukan.
“Saat itu saya bersikukuh untuk kembali bisnis. Karena kalau kembali ke dunia kerja, usia saya harusnya (melamar) ke posisi lumayan tinggi,” tutur dia.
Mengandalkan beberapa proyek untuk bertahan hidup, Sugiarto memutar otak untuk kembali ke bisnis sepatu. Dimulai dengan desain sepatu dan pasar yang akan dituju.
Ia kemudian pergi ke Singapura dan Jepang untuk melakukan riset. Beberapa sepatu pun ia bedah untuk menemukan passion-nya.
Hingga awal 2019, ia mendirikan Inskres dengan modal Rp 100 juta.
Dalam hitungan bulan, 150 pasang sepatu terjual di Indonesia, Taiwan, Inggris, Afrika Selatan, hingga Amerika Serikat.
“Harga sepatu Inskres Rp 600.000-Rp 1,9 juta. Dalam sebulan kami bisa produksi 150 pasang."
"Sebenarnya permintaannya banyak, tapi kapasitas produksi kami baru segitu,” ucap dia.
Saat ini, ia memiliki tujuh perajin, dan dua pegawai untuk admin dan promosi. Ke depan ia akan terus mengembangkan bisnisnya.
Baca juga: Bermodal Rp 200.000, Indra Bawa Sepatu Koku Tembus Pasar Dunia
Namun, dia tidak ingin memiliki bengkel sendiri. Alasannya, Sugiarto ingin berbagi rezeki sebanyak mungkin dengan melibatkan banyak pekerja.