Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 07/05/2020, 00:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Wisnubrata

Dalam posisi seperti ini, apa kira-kira yang ada di benak orang ini di dalam ruang gelap gulita?

Apakah ia begitu ketakutan dengan gelapnya ruangan sekaligus membayangkan hal-hal menyeramkan?

Ataukah ia berusaha mencari secercah cahaya di ruang gelap tersebut sehingga hilang rasa takut dan sambil mencari pintu keluar?

Agung mengatakan bahwa kedua sudut pandang tersebut disebut sikap pesimistis dan optimistis.

Kalau hanya melihat sisi gelapnya saja, maka gelap pikirannya. Tetapi, kalau melihat sisi terang maka akan terang juga pikirannya.

Jadi, sikap pesimistis dan optimistis akan menentukan kualitas dalam mengambil keputusan.

Martin Seligman

Berbicara soal optimisme, kita harus ingat Martin E.P. Seligman, seorang psikolog asal Amerika.

Seligman dikenal sebagai seorang pelopor psikologi positif yang membuahkan pemikiran baru membedah sisi positif manusia.

Sisi positif di antaranya bahwa manusia pada dasarnya memiliki harapan, ingin mencapai kebahagiaan, kesejahteraan, sukacita, optimistis, percaya diri, ketenangan, dsb.

Pemikiran Seligman ini berlawanan arah dengan ilmu psikologi sebelumnya yang umum membahas tentang gangguan kepribadian, perilaku abnormal, sikap prasangka, emosi, dsb.

Seligman mengatakan bahwa ada dua hal tentang sisi positif manusia, yaitu yang menetap dan yang meresap.

Kalau yang menetap, misalnya, tentang pandemi Covid-19 orang ini akan berkata dengan optimis bahwa pandemi Covid-19 akan berlalu dengan segera. Semua pasti bisa teratasi dengan baik. Keadaan akan berangsur-angsur pulih, normal kembali.

Semua ini pelajaran yang berharga buat kita. Juga berdoa, gembira, tetap bersyukur kepada Tuhan.

Sedangkan kalau yang meresap, misalnya, orang optimistis memandang sebuah pandemi dari sisi yang baik. Misalnya dengan diberlakukannya WFH malah anugerah yang besar, kapan lagi bisa bersama keluarga seperti sekarang ini?

Dulu, banyak anak mengeluh susah berkumpul bersama keluarga karena orang tua pergi bekerja pagi pulang malam. Inilah saat yang tepat.

WFH juga merupakan bayangan seorang rekan yang ingin bekerja jarak jauh (teleworking). Jadi, tidak perlu ngantor tiap hari, cukup satu hari rapat di kantor, selebihnya kerja di rumah.

Selain itu, malah ada yang bersyukur dengan pandemi ini. Maksudnya, dengan adanya pembatasan sosial berskala besar (PSBB), udara jadi tampak bersih. Polusi udara mendadak lenyap.

Jadi, orang yang optimistis akan memandang semua peristiwa baik atau buruk dengan sudut pandang yang positif. Sebab orang yang optimistis akan lebih mudah mengatasi keadaan dengan langkah-langkah yang meyakinkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com