Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Pembiaran Norma Anyar yang Makin Ambyar

Kompas.com, 26 Juni 2020, 20:33 WIB

Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.

Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Tak dapat dipungkiri, akhir bulan ke 4 pandemi Covid-19 di Indonesia (bulan ke 6 di dunia) membuat semua orang kian bingung dan gelisah.

Ketidakjelasan hidup mau bagaimana esoknya, sampai kapan wabah akan selesai dan interaksi sosial bagai syok peradaban dialami semua lapisan masyarakat tanpa pandang bulu.

Yang diadopsi akhirnya hal-hal superfisial non substantif yang sebatas bisa mendongkrak ekonomi dan fesyen tentu saja.

Baca juga: Pandemi Belum Usai, Bagaimana Berkomunikasi di Era New Normal?

Katanya mau sehat dan bebas penularan, alih-alih menerapkan 3 bukti ilmiah yang disodorkan jurnal kedokteran bergengsi - The Lancet – sebagian akademisi Indonesia malah super kreatif menemukan ‘penangkal virus’ yang mampu memberi ketenangan palsu sementara rakyatnya masih keluyuran.

Sebut saja penelitian setengah-setengah soal jampi-jampi jamu hingga ekstrak kayu putih.

Sementara The Lancet menganjurkan, hal yang lebih sederhana dan terbukti menurunkan risiko transmisi virus dengan prosentase angka: cuci tangan pakai sabun, menggunakan masker (dengan benar), dan menjaga jarak fisik 1.5-2 meter.

Bukan minum jamu, pakai sarung tangan apalagi semprot desinfektan ke tubuh manusia. Sebab virusnya yang siap menular berada dalam tenggorokan manusia yang disemprot.

Yang miris, sambil menggunakan masker berbagai warna, saat berswafoto ramai-ramai, lalu jaga jarak aman ambyar. Protokol kesehatan tinggal kenangan.

Ini bukan hanya terjadi di kantor atau perusahaan yang sama sekali tidak berhubungan dengan kesehatan.

Justru, terjadi di instansi kesehatan bahkan kantor rumah sakit. Mengandaikan ‘rekan kerja’, ketemu setiap hari, sudah ‘seperti keluarga’. Nah ini dia.

Baca juga: Bekali Ilmu Kesehatan untuk Hadapi Normal Baru

Mengapa kerumunan itu sulit sekali diatur? Karena ada sekelompok manusia menyebut hubungan keluarga satu rumah. Sehingga jadilah kerumunan kecil.

Tak mau kalah dengan satu kelompok, muncul kerumunan lain yang menyebut ‘kami berenam satu kos, datangnya saja bersama-sama’.

Dan bisa dibayangkan, sepanjang jalan protokol DKI Jaya di akhir pekan istilah CFD, Car Free Day berubah menjadi Corona Festival Day.

Satu keluarga, satu kos, satu RT – adalah istilah kerumunan masyarakat kita yang tidak terbiasa menjadi individu yang berdiri sendiri.

Begitu mengguyub, sehingga menganggap identifikasi diri berada dalam kelompok. Mengandaikan kelompoknya sehat, sebab saya pun tidak sakit.

Padahal dalam satu keluarga atau satu kos, masing-masing punya pergerakan fisik yang tidak sama. Yang satu berjualan di pasar, yang satu habis pulang mudik, yang satu baru menghadiri pertemuan.

Bisa dibayangkan jika per individu itu bertemu sebagai ’keluarga’ atau penghuni satu kos dan masih mengandaikan mereka semua ‘sama sehatnya’.

Tak heran ada bayi baru 40 hari meninggal dalam keadaan menderita sesak parah akibat infeksi Covid 19, padahal ia belum bisa keluyuran – kecuali fakta bahwa ia dijenguk tetangga dan kerabat – yang ‘dekat’ dan tak nampak sakit.

Baca juga: Dipaksa, Terpaksa, Lalu Bisa, Kemudian Biasa hingga Jadi Budaya

Keluguan cara berpikir, pembiaran berpuluh-puluh tahun yang tidak pernah tersentuh edukasi kesehatan dengan cara komunikasi yang benar, membuat bangsa ini gagap tanggap.

Dipaksa ‘nurut’ dengan norma-norma ‘anyar’ yang begitu jauh dari kebiasaan sehari-hari dan kebudayaan mengguyub membuat protokol tinggal seperti pajangan aturan.

Apalagi sanksinya model hukuman anak sekolah dasar yang sangat tidak masuk akal: mulai dari push up hingga hafalan Pancasila. Minim literasi, minim tanggung jawab moral membuat pandemi sulit ditangani.

Namun demikian, budaya berkerumun dan identitas kelompok di Indonesia ini cukup unik.

Yang mestinya muncul tanggung jawab rasa bersalah terhadap kelompok, justru mereka yang mencelakakan kaumnya seakan tak punya rasa salah sama sekali.

Bahkan, mulai menuding kontributor lain sebagai penyebab masalah. Lebih parah lagi, dengan mudahnya terbawa hasutan bahwa isu covid 19 hanyalah konspirasi.

Baca juga: Bagaimana Kita Pasca Pandemi, Tergantung Kita Hari Ini

Di sisi lain, petinggi yang mestinya melihat pandemi sebagai penularan penyakit dan harus ditangani secara spesifik intervensi medik dan edukasi publik, malah kesasar lebih berat sebelah ke dampak psikologis ekonomis.

Bahkan, Indonesia satu-satunya negara yang mengibarkan bendera turisme di awal pandemi sementara negara lain sudah menutup diri rapat-rapat melindungi rakyatnya.

Kedodoran dan keteteran penanganan membuat masalah kian kronis. Termasuk keterpurukan ekonomi pada akhirnya.

Suntikan stimulus yang diharapkan bisa mendongkrak ritme finansial ternyata terpakai sebatas kebutuhan sehari-hari, bahkan rentan penyalahgunaan dan dugaan ‘begal’ bantuan tunai langsung dimana-mana.

Di sisi lain, generasi Z yang sudah masuk usia duapuluh-an, mulai gerah karena hidupnya kehilangan arah.

Dari yang kuliah kedokteran hingga pariwisata pun akhirnya meramaikan dunia instagram dengan aneka jualan.

Dari aneka cake, keripik kentang hingga cumi sambal ijo. Siapa sih yang tak butuh makanan? Murah meriah, sebagai pemula bolehlah coba-coba.

Hal yang barangkali juga jika diamati dari semua negara di dunia, Indonesia minim pengawasan, sementara situasi kebablasan akibat pembiaran sangat mungkin terjadi.

Persis seperti semua kejadian kebablasan di segala bidang di negri ini – yang awalnya dimulai dari rasa empati, gotong royong, dan kesetiakawanan.

Mirip seperti rasa kasihan dengan para pendatang yang satu per satu membangun hunian non permanen sepanjang bantaran kali – hingga akhirnya punya RT RW – dan suatu hari terjadi malapetaka besar: banjir bandang.

Kemudian relokasi dianggap penggusuran anti kemanusiaan terhadap rakyat kecil.

Baca juga: New Normal, Bagaimana Mencegah Penularan Virus Corona di Tempat Kerja?

Apa hubungannya dengan usaha kecil di masa pandemi? Sangat berhubungan. Siapa yang tahu, wiraswasta kecil-kecilan bikin kue atau lauk akhirnya menjadi budaya baru: awalnya beli ‘dagangan teman’, ujung-ujungnya jadi bisnis berkelanjutan.

Kelihatannya ekonomi merayap naik, serapan bahan baku pangan naik. Tapi nanti dulu,bahan baku yang mana? Gula, terigu, garam, minyak? Lima tahun ke depan ini semua menjadi kontributor rapor merah riset kesehatan dasar.

Bisnis yang sudah menggelinding sulit untuk dituding sebagai biang kerok apalagi dikenai aturan: wajib bikin surat izin usaha, perlu terdaftar di BPOM, semua dianggap penyulit orang yang sedang dalam kondisi ‘survival’. Ibarat banjir bandang terjadi dan penggusuran dianggap penzaliman.

Dalam salah satu webinar yang diselenggarakan sebuah lembaga non pemerintah, para pakar sebagai nara sumber independen setuju, bahwa arah penanggulangan pandemi kita lebih membela ekonomi, protokol kesehatan hanya sekadar pemanis.

Yang apabila dijalankan tentunya jadi baik, dan jika tak dijalankan ya tanggung saja sendiri akibatnya.

Baca juga: Wabah Virus Corona yang Mengubah Marwah Manusia

Sayangnya, tidak banyak yang bisa memprediksi jauh ke depan: korban bukan saja anak-anak yang meninggal sebagai akibat langsung terkena infeksi virusnya, tapi juga anak-anak yang tumbuh kembang dalam suasana tidak kondusif, yang lingkaran norma ‘anyarnya’ amburadul.

Dunia bisnis dan teknik-teknik pemasaran melesat lebih canggih ketimbang teknik mengkomunikasikan literasi kesehatan.

Istilah ‘rakyat kecil’ pun barangkali cuma ada di Indonesia. Suatu ungkapan eksplisit yang di baliknya penuh rasa kurang, ketidakadilan, kekecewaan, kekhawatiran, dan kemarahan yang setiap saat bisa meledak.

Dijadikan excuse, alasan – untuk semua ketidakberdayaan. Yang semestinya, setelah 75 tahun kita merdeka, tidak boleh lagi ada.

Sekarang momentumnya. Yang awalnya diberi ikan untuk makan, maka suatu hari dia harus cukup kuat untuk diberi kail dan mencari ikan sendiri. Bukan terus menadahkan tangan.

Saat orang mengambil jarak satu sama lain, saat setiap individu bermasker mencegah penularan terhadap individu lain, adalah momen tepat untuk mengajarkan bahwa setiap tindakan perorangan itu bermakna. Termasuk setiap catatan kecerobohan, tentu saja.

Di masa pandemi ini, jika dukungan pemerintah dan semua kelompok filantrofis elite salah kaprah, maka jurang akan semakin lebar dan norma anyar membuat kondisi kian ambyar.

Baca juga: Covid-19: Ujian Kesehatan, Kesadaran, dan Kewarasan

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang



Terkini Lainnya
Bukan Jarang Bertengkar, Ini Satu Tanda Hubungan Sehat yang Sering Terlewat Menurut Psikolog
Bukan Jarang Bertengkar, Ini Satu Tanda Hubungan Sehat yang Sering Terlewat Menurut Psikolog
Relationship
Lebih Ringan dan Resposif, Puma Andalkan Teknologi Nitrofoam untuk Sepatu Lari
Lebih Ringan dan Resposif, Puma Andalkan Teknologi Nitrofoam untuk Sepatu Lari
Wellness
Mengenal Hydroxyapatite, Kandungan Pasta Gigi yang Bisa Memperkuat Enamel
Mengenal Hydroxyapatite, Kandungan Pasta Gigi yang Bisa Memperkuat Enamel
Wellness
Michael Kors Hadirkan Nuansa Liburan Musim Dingin yang Glamour
Michael Kors Hadirkan Nuansa Liburan Musim Dingin yang Glamour
Fashion
Tips Memilih Pasta Gigi yang Aman, Termasuk Pilih yang Bisa Mencegah Plak
Tips Memilih Pasta Gigi yang Aman, Termasuk Pilih yang Bisa Mencegah Plak
Wellness
Rita Berhasil Turunkan Berat Badan Tanpa Olahraga Berat, Dimulai dari Mengubah Pola Makan
Rita Berhasil Turunkan Berat Badan Tanpa Olahraga Berat, Dimulai dari Mengubah Pola Makan
Wellness
Bisakah Obat Kumur dan Benang Floss Menggantikan Pasta Gigi?
Bisakah Obat Kumur dan Benang Floss Menggantikan Pasta Gigi?
Wellness
Ice Facial Viral di Media Sosial, Ini Manfaat dan Cara Aman Melakukannya
Ice Facial Viral di Media Sosial, Ini Manfaat dan Cara Aman Melakukannya
Wellness
Perhatikan 3 Hal Ini Saat Membeli Perhiasaan Emas, Jangan Sampai Rugi
Perhatikan 3 Hal Ini Saat Membeli Perhiasaan Emas, Jangan Sampai Rugi
Fashion
Mengapa Anak di Bawah 16 Tahun Dinilai Belum Siap Bermedia Sosial?
Mengapa Anak di Bawah 16 Tahun Dinilai Belum Siap Bermedia Sosial?
Parenting
6 Zodiak yang Bisa Menikmati Waktu Sendiri Tanpa Kesepian, Ada Aquarius
6 Zodiak yang Bisa Menikmati Waktu Sendiri Tanpa Kesepian, Ada Aquarius
Wellness
4 Zodiak Dikenal Paling Penyayang pada Hewan Peliharaan, Siapa Saja?
4 Zodiak Dikenal Paling Penyayang pada Hewan Peliharaan, Siapa Saja?
Wellness
Tips Mix and Match Kebaya Encim, Warna Kontras Bikin Lebih Hidup
Tips Mix and Match Kebaya Encim, Warna Kontras Bikin Lebih Hidup
Fashion
Luna Maya Pilih Olahraga Pagi demi Kebugaran dan Kesehatan Mental
Luna Maya Pilih Olahraga Pagi demi Kebugaran dan Kesehatan Mental
Wellness
Menjajal Facial Brightening untuk Wajah Tampak Cerah dan Segar
Menjajal Facial Brightening untuk Wajah Tampak Cerah dan Segar
Beauty & Grooming
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau