Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Belajar dari Vaksinasi BCG: Tak Ada Satu Jurus Jitu Buat Sehat

Kompas.com - 22/12/2020, 07:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

Sembilan bulan deraan pandemi ini sebetulnya kesempatan emas bagi Indonesia untuk membuktikan promosi kesehatan – bukan hanya protokol kesehatan.

Entah ada yang sempat membuat studi atau tidak, bahwa mereka yang terdeteksi covid 19 tanpa gejala atau bergejala ringan adalah kelompok orang yang bisa jadi rata-rata mempunyai kebiasaan hidup dan pola makan lebih sehat, ketimbang para pasien yang harus dirawat bahkan masuk ICU.

Selama ini diandaikan mereka yang bergejala berat adalah pasien dengan penyakit penyerta, atau beban kerja berlebih, bahkan paparan virusnya tinggi.

Baca juga: Pembiaran Norma Anyar yang Makin Ambyar

Apabila kita hanya mengandalkan vaksinasi, maka bisa jadi Indonesia menjadi negeri ‘endemik’ Covid-19 di mana negara-negara lain sudah terbebas dari penyebaran masif virusnya, pandemi sudah dinyatakan usai, bahkan banyak negara tidak merasa harus mewajibkan vaksinasi.

Mari kita lihat kasus TBC. Salah satu penyakit yang disebut endemik di negri ini. Sekali pun vaksinasi BCG sudah jadi lini program vaksinasi dasar dan wajib sejak bayi baru lahir. Penularan TBC tidak usai-usai sejak saya lahir hingga kini.

Bahkan, Indonesia menempati peringkat ke dua di dunia sebagai negara dengan penyandang TBC terbanyak setelah India.

Di Indonesia, angka kematian tembus 67.000 per tahun dan pada 2018 sebanyak 845.000 orang Indonesia jatuh sakit akibat TBC.

Ini berarti 316 orang menderita TBC dari 100.000 penduduk. Bisa dibayangkan, dalam 1 kecamatan yang lumayan padat penduduknya, ada lebih dari 300 jiwa berpenyakit TBC yang siap saling menularkan. Bahkan kerap tidak memberi gejala khas.

Jangan salah, jika ditelusuri, mereka yang tertular TBC bukannya tidak pernah vaksinasi BCG. Sayangnya, rakyat kita tidak terpapar secara akademik sejak di usia sekolah, bahwa program imunisasi memberi efektivitas mengurangi risiko berbagai bentuk penyakit TBC sekitar 50% (TBC bukan hanya di paru, tapi juga kelenjar getah bening, tulang, selaput otak, dsb).

Tidak ada yang menyebut, bahwa vaksinasi membuat manusia 100% kebal terhadap penyakitnya. Apalagi jika vaksinasi diharapkan mampu memicu tubuh membuat antibodi.

Bagaimana dengan mereka yang daya tahan tubuhnya buruk? Bahkan menderita penyakit auto imun bertahun-tahun? Atau penyandang HIV? Atau anak-anak dengan gizi buruk ditambah hidup dalam kepungan asap rokok?

Mereka dengan gaya hidup yang salah dan pola makan amburadul, apalagi praktik sanitasi dan higiene buruk akan menjadikan vaksinasi semacam mimpi di siang hari bolong.

Hal ini sama seperti sebagian besar penderita penyakit kronik yang hanya mengandalkan minum obat atau suntik insulin, sementara ogah mengatur apa yang dimakan, malas bergerak dan menikmati hidup penuh stres tanpa mengulik rasa berdaya yang mestinya dimiliki setiap orang sebagai upaya bertahan hidup.

Baca juga: Dipaksa, Terpaksa, Lalu Bisa, Kemudian Biasa hingga Jadi Budaya

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com