KOMPAS.com - Kasus kekerasan seksual khususnya terhadap perempuan semakin marak terjadi. Bahkan beberapa kasus kini sering kali ditemukan di ranah publik seperti perguruan tinggi atau kampus.
Berdasarkan data dari Komnas Perempuan sepanjang tahun 2015-2020, terdapat 27 persen aduan kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi dari keseluruhan pengaduan yang terjadi di lembaga pendidikan.
Data ini pun diperkuat dengan temuan survei Mendikbud Ristek tahun 2019 bahwa kampus menempati urutan ketiga (15 persen) lokasi terjadinya tindak kekerasan seksual, setelah peringkat jalanan (33 persen) dan transportasi umum (19 persen).
Padahal, sebagai institusi pendidikan yang tertinggi, kampus seharusnya bisa menjadi ruang yang aman dan bebas dari kekerasan seksual bagi siapa pun, terutama mahasiswa.
Baca juga: Hal yang Harus Dilakukan Ketika Mengalami Pelecehan Seksual
Adanya ketimpangan kuasa
Kalis Mardiasih, selaku pemerhati isu gender dan penulis, mengatakan bahwa sebagian besar terjadinya kekerasan seksual itu disebabkan karena adanya ketimpangan kuasa antara pelaku dan korban.
Sehingga, dalam hal ini korban biasanya akan menjadi pihak yang paling lemah dan tidak berdaya karena merasa terancam.
"Seperti di kampus, lebih banyak pelaku kekerasan seksual itu berasal dari kalangan dosen atau dekan karena mereka merasa punya kuasa," terangnya dalam acara virtual Bersama Menciptakan Kampus yang Bebas dari Kekerasan Seksual bersama The Body Shop, Rabu (1/12/2021).
"Jadi, ketika ada dosen atau dekan yang melakukan kekerasan seksual itu akan lebih sulit untuk dihadapi karena mereka memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari mahasiswa di kampus," sambung dia.
Hal tersebut juga dibenarkan oleh direktur Rumah Perempuan, Libby Sinlaloe, Spt, yang menemukan 50 kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan di wilayah Kupang.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.