Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tirta Akdi Toma Mesoya Hulu
Pengajar IT dan Penulis Novel

Pengajar IT dan Penulis Novel. Pengajar senior di CEP-CCIT Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Alumni Fasilkom Universitas Indonesia. Mantan Coordinator Volunteer Asian Para Games 2018 dan Penyiar Radio.

Telah menekuni hobi menulis sejak 2011 dan telah menulis sejumlah novel di beberapa platform digital, memiliki kegemaran memperhatikan tren di sosial media terutama yang berkaitan dengan sudut pandang generasi milenial dan Gen-Z.

Lingkungan Kerja Toxic ala Milenial dan Gen-Z

Kompas.com - 08/02/2022, 10:33 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Begitu banyak contoh ke-toxic-an jika dikaji satu per satu. Pertanyaannya, apakah hal-hal toxic di atas adalah valid atau bersifat subjektif? Ya, semuanya tergantung pada sudut pandang seseorang.

Sebagai contoh, si A adalah karyawan yang sangat aktif, bahkan ia bekerja sampai melebihi waktu jam kerja yang berlaku. Si A bahkan sering meng-handle pekerjaan rekannya yang tidak selesai.

Tentunya apa yang dilakukan si A akan dianggap toxic bagi si B karena atasan akan membuat standar karyawan yang baik dan teladan adalah seperti si A.

Kita balik keadaan, si B akhirnya menunjukkan ketidaksukaannya pada si A karena si B menganggap si A sedang mencari muka pada atasan.

Si B sering menjadikan si A bahan ghibah di kantor dan tak jarang menyindir si A.

Jadi, kesimpulannya si A merupakan karyawan toxic di mata si B, dan begitu juga sebaliknya.

Dari analogi di atas, bisa kita lihat bahwa beberapa peristiwa toxic di kantor memanglah bersifat subjektif.

Peran dari pihak manajerial perusahaan sangat diperlukan untuk mengatasi hal yang bisa menjadi bom waktu ini karena tentunya dapat menurunkan loyalitas seorang karyawan terhadap perusahaan dia bekerja.

Bagi kamu yang juga sedang merasakan hal serupa, jangan buru-buru mengumbar aib perusahaan di media sosial, meski kamu tidak menyebutkan nama perusahaan tempat kamu bekerja.

Ingat, rekam jejak media sosial itu kejam! Bisa jadi HR dari perusahaan yang ingin kamu tuju melihat video uneg-uneg kamu dan menjadikannya bahan pertimbangan untuk menerima kamu di perusahaan mereka.

Langkah yang bisa kamu lakukan adalah mencoba untuk menyampaikan keluhan yang kamu rasakan kepada pihak yang berwenang di kantor kamu seperti HR.

Namun, jika segala upaya telah dilakukan dan kamu masih merasa kantor kamu sangat toxic, kamu bisa mempertimbangkan untuk mencari perusahaan lain dengan cara yang elegan tanpa perlu mengumbarnya di media sosial.

Ingat, kamu sudah dikategorikan sebagai kaum profesional. Toh, kalau mau curhat bisa dengan teman terdekat atau keluarga, tidak harus di media sosial.

Satu hal lain yang perlu kamu ingat, tidak ada jaminan kamu tidak akan mengalami hal toxic di kantor baru yang hendak kamu tuju, bisa jadi lebih parah.

Karena pada dasarnya, akan selalu ada orang yang tidak suka dengan kita. Hal terpenting yang bisa kamu lakukan adalah bekerja dengan benar dan pada porsi yang tepat.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com