Oleh: Alifia Riski Monika dan Ikko Annata
KOMPAS.com - Pernah dengar istilah toxic positivity? Istilah ini populer karena kalimat positif yang dilontarkan seseorang, justru berbarengan dengan dampak emosi negatif yang ditimbulkan. Sehingga hal ini menjadi ‘racun’ bagi mereka yang menerimanya.
Apa sebenarnya toxic positivity?
Melansir medicalnewstoday.com, toxic positivity merupakan obsesi pemikiran positif atau keyakinan bahwa orang harus memberikan pandangan yang positif pada semua pengalaman, meski pengalaman tersebut sangat tragis.
Toxic positivity dapat membungkam emosi negatif, merendahkan kesedihan, dan membuat orang merasa tertekan dengan berpura-pura bahagia.
Toxic positivity bisa terjadi pada hubungan asmara, keluarga, bahkan dalam lingkup pertemanan. Nana (nama samaran) juga mengalami pengalaman tidak mengenakkan karena mendapat toxic positivity dari orang terdekat.
Kisahnya mendapat saran dari Psikolog Novita Tandry yang bisa didengarkan lewat siniar Anyaman Jiwa bertajuk “Memiliki Teman yang Toxic Positivity”.
Ungkapan positif sebagai penyemangat, sejatinya hal yang baik, namun bisa jadi racun yang justru merusak bila tidak disampaikan dengan bijak. Suatu kalimat positif bisa disebut toxic, jika kata-kata tersebut menyederhanakan, menyepelekan, dan mengecilkan emosi atau masalah yang dialami seseorang seakan-akan pemikiran negatif tidak boleh dirasakan.
Penelitian pada tahun 2020 menemukan bahwa dari 29 studi kekerasan dalam rumah tangga bias positif dapat menyebabkan orang yang mengalami pelecehan, meremehkan tingkat keparahannya dan tetap mempertahankan hubungan yang tidak sehat. Optimisme, harapan, dan pengampunan yang diberikan, meningkatkan risiko korban tetap bertahan bersama pelaku kekerasan.
Baca juga: Manfaat Menari untuk Kesehatan Mental, Bantu Redakan Depresi
Duka dan kesedihan merupakan hal yang normal dalam menghadapi kehilangan. Seseorang yang berulang kali mendengar pesan untuk move on atau bahagia mungkin merasa seolah-olah orang lain tidak peduli dengan kehilangannya.
Orang tua yang kehilangan seorang anak, misalnya, mungkin akan merasa bahwa anak mereka tidak penting bagi orang lain, sehingga hanya akan menambah kesedihan mereka.
Orang yang merasa tertekan untuk tersenyum dalam menghadapi kesulitan, mungkin cenderung tidak mencari dukungan. Mereka mungkin merasa terasingkan atau malu dengan perasaan mereka, sehingga enggan mencari bantuan.
Menurut American Psychiatric Association, stigma dapat menghalangi seseorang untuk mencari perawatan kesehatan mental.
Setiap hubungan memiliki tantangan. Toxic positivity mendorong orang untuk terus berpikir dan fokus pada hal positif, namun mengabaikan tantangan yang ada. Permasalahan ini dapat menghancurkan komunikasi dan kemampuan untuk memecahkan suatu masalah yang terjadi dalam hubungan.
Setiap orang terkadang mengalami fase negatif dari adanya emosi. Toxic positivity mendorong orang untuk mengabaikan emosi negatif. Ketika seseorang tidak dapat merasa positif, mereka mungkin merasa seolah-olah sudah gagal.