Akhirnya, kita akan emmandang rendah diri sendiri dan tidak memiliki cukup energi untuk berolahraga. Perasaan pun akan menjadi buruk.
Baca juga: Bercinta Dianjurkan untuk yang Kurang Olahraga
Saat sedang stres, biasanya kita akan menghadapinya dengan “flight or fight” alias menghindari atau melawan.
JIka memilih “flight,” kita akan berusaha lari dari masalah karena takut menghadapinya. Namun jika memilih “fight,” kita akan berusaha melawan atau menjadi defensif.
Menurut Dr. Nadelman hal ini merupakan dampak biologis dari terlalu banyak mengurung diri.
Padahal, biasanya seseorang dapat mengendalikan stres dan kecemasannya dengan cara yang lebih menyenangkan, bukan dengan dua hal ekstrem seperti ini.
Nah, saat seseorang tidak memiliki waktu atau jadwal rutin untuk berolahraga, otak akan melepaskan kortisol atau hormon stres, membuat kita sulit mengendalikan emosi dengan efektif.
“Stresor modern biasanya tidak bersifat sementara dan meningkatkan kortisol secara berkelanjutan,” kata dia.
Baca juga: Orang Indonesia Tak Puas dengan Kesehatannya karena Kurang Olahraga
“Peningkatan kortisol ini memiliki efek neurotoksik pada otak, yang dapat merusak hipokampus dengan menurunkan ekspresi neuropeptida BDNF, dan menyebabkan depresi,” sambung dia.
Namun dengan melakukan latihan aerobik, kita dapat memperbaiki reaktivitas neuroendokrin sekaligus memperbaiki respons biologis kita terhadap stres.
Hasilnya, kita akan merasa lebih tenang dan dapat mengendalikan diri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.