KOMPAS.com - Hari Kesehatan Mental Sedunia jatuh tiap tanggal 10 Oktober.
Saat ini, kesadaran akan isu tersebut semakin tingg di masyarakat.
Anak muda, khususnya, semakin paham pentingnya merawat kesejateraan emosionalnya sehingga perlahan menghapus stigma negatif selama ini.
Sayangnya, masih banyak juga yang belum paham, tidak peka dan meremehkan soal kondisi mental seseorang.
Baca juga: Hindari Hal Ini saat Teman Punya Isu Kesehatan Mental
Beberapa yang lain kerap kali kebingungan harus memberikan komentar maupun dukungan seperti apa pada kenalannya yang memiliki masalah kejiwaan.
"Sulit untuk menemukan komentar yang tepat untuk seseorang yang sedang berjuang dengan kesulitan emosional," kata F. Diane Barth, LCSW, seorang psikoterapis dan psikoanalis di New York City.
Oleh sebab itu, kita perlu mengedukasi diri soal isu ini agar tidak asal membuat komentar sensitif dan menyudutkan.
“Masalah terjadi ketika orang membuat pernyataan yang menyiratkan bahwa penyakit mental adalah tanda kelemahan emosional," ujar Ryan Howes, psikolog klinis asal California.
Seakan-akan masalah mental ini sebagai hal sepele yang bisa diselesaikan dengan mudah, padahal tidak demikian.
Baca juga: Sadari, 5 Risiko Lakukan Diagnosis Kesehatan Mental Sendiri
Sebagai contoh, ada beberapa kalimat terlarang yang pantang diucapkan pada penderita masalah kesehatan mental, antara lain:
“Dengan penyakit mental yang signifikan, tidak akan berhasil, bahkan untuk sementara,” kata Howes.
Jadi jangan asal menyuruh orang lain mencari kesibukan untuk mengalihkan perhatian dan keluhannya.
Berbagai pengalihan tersebut tidak akan berguna dan malah membuat keadaannya terlambat ditangani.
Ucapan tersebut menyiratkan tuduhan bahwa orang tersebut tidak berupaya sembuh atau terlalu malas untuk memperbaiki kondisinya.
Efeknya benar-benar parah meskipun mungkin kita tidak berniat buruk saat mengatakannya.
Baca juga: Makanan dan Kesehatan Mental, Bagaimana Hubungannya?
Perubahan perspektif mungkin bisa sedikit membantu namun tidak akan menyembuhkan gangguan mental seperti ADHD, gangguan bipolar, PTSD atau skizofrenia.
"Sangat sulit bagi orang yang berfungsi tinggi untuk mengubah sikap mereka, apalagi seseorang yang lemah karena penyakit mental yang melelahkan," tandas Howes.
Padahal komentar tersebut membuat mereka merasa lebih buruk soal dirinya sendiri.
"Mereka membayangkan fakta bahwa mereka tidak dapat melakukannya, dalam pikiran mereka, hanyalah satu lagi tanda kegagalan mereka," katanya.
Baca juga: Dukungan Sosial Penting bagi Kesehatan Mental Ibu, Seperti Apa?
Kalimat ini terdengar seperti tuduhan karena mereka tidak berusaha cukup keras soal hidupnya.
Selain itu, kalimat ini juga tidak akurat karena mungkin saja orang tersebut sebetulnya tidak memiliki dukungan yang dibutuhkannya.
Semua orang memiliki emosi namun tidak sama dengan penderitaan yang dialami oleh penderita gangguan mental itu.
Kesedihan tidak sama dengan lubang keputusasaan tanpa harapan seperti yang dialami penderita depresi atau serangan panik yang sering diremehkan sebagai kecemasan belaka.
Kekuatan doa dan ibadah bagi sebaian orang memang sangat nyata karena membantu memfokuskan diri dan merasakan dukungan dari hal yang lebih tinggi.
Namun nasihat ini dapat meminimalkan masalah, mengabaikan banyak perawatan medis dan psikologis yang telah terbukti.
"Bahkan dapat membuat seseorang merasa seperti tidak disembuhkan, karena mereka tidak memiliki cukup iman, yang menambah penghinaan terhadap penyakitnya," terang Howes.
Masalah kesehatan mental membuat seseorang tidak mampu berfungsi normal, secerdas dan sekuat apa pun dirinya.
Jadi sangat menyakitkan jika kita menuding mereka malas, membuat alasan atau tidak berusaha keras karena penyakitnya itu.
Baca juga: Perlukah Kita Detoks Media Sosial demi Menjaga Kesehatan Mental?
Dengan semakin meningkatnya kesadaran soal kesehatan mental, kalimat ini makin sering muncul.
Namun sebaiknya tahan diri agar tidak mengeluarkan komentar serupa karena membuat kita terkesan sok tahu atau sok akrab.
Seakan-akan, kita tahu penderitaan dan perjuangan mereka menghadapi hal tersebut, padahal sebenarnya tidak.
Baca juga: Perlukah Kita Detoks Media Sosial demi Menjaga Kesehatan Mental?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.