Oleh: Inge Shafa Sekarningrum dan Ikko Anata
KOMPAS.com - Hampir semua manusia suka dimengerti. Tidak perlu hal-hal besar, karena hal-hal kecil saja pasti sudah membuat seseorang merasa dihargai.
Namun, sayangnya banyak sekali orang yang masih sulit untuk memahami dan berempati kepada orang lain. Baik itu keluarganya, teman, hingga pasangan.
Padahal, terkadang kita perlu untuk peka dengan perasaan, keadaan, dan emosi seseorang agar bisa menghargai apa yang sedang mereka rasakan.
Mustika Ramadyanti dalam siniar Anyaman Jiwa bertajuk “Empathy is I Want to Connect with You” yang dapat diakses melalui dik.si/AnyJiwEpEmpathy, mengatakan bahwa empati merupakan proses keberanian untuk saling terhubung satu sama lain.
Mustika juga menyebutkan bahwa empati bisa diartikan sebagai sebuah perjalanan kita untuk memahami, merasakan, dan hingga terkoneksi dengan sinyal positif dengan sesama.
Empati adalah kata yang sering digunakan oleh banyak orang. Sudah umum diketahui bahwa empati adalah hal yang baik untuk dimiliki, tetapi itu tidak selalu menjadi prioritas dalam kehidupan seseorang.
Tahukah kamu bahwa 98 persen orang memiliki kemampuan berempati dengan orang lain? Beberapa pengecualian adalah psikopat, narsisis, dan sosiopat yang merupakan orang yang tidak dapat memahami atau berhubungan dengan perasaan dan emosi orang lain.
Secara sederhana, empati adalah kemampuan untuk memahami sesuatu dari sudut pandang orang lain. Kemampuan itu mencakup berbagi perasaan dan emosi orang lain dan memahami mengapa mereka memiliki perasaan itu.
Ada banyak orang berbicara tentang pentingnya pengertian dan empati.
Maya Angelou pernah berkata, "Saya pikir kita semua memiliki empati. Namun, mungkin kita tidak memiliki cukup keberanian untuk menunjukkannya."
Albert Einstein berkata, "Perdamaian tidak dapat dipertahankan dengan paksaan; itu dapat dicapai dengan pemahaman."
Baca juga: Masalah Kesehatan Mental itu Nyata
Mantan Presiden Barack Obama juga mengatakan, "Defisit terbesar yang kita miliki dalam masyarakat kita dan di dunia saat ini adalah defisit empati. Kita sangat membutuhkan orang-orang yang mampu berdiri di atas sepatu orang lain dan melihat dunia melalui mata mereka."
Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya kita memiliki rasa empati untuk orang lain.
Menurut psikolog Daniel Goleman dan Paul Ekman, ada tiga jenis empati: kognitif, emosional, dan belas kasih.