Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agung Setiyo Wibowo
Author

Konsultan, self-discovery coach, & trainer yang telah menulis 28 buku best seller. Cofounder & Chief Editor Kampusgw.com yang kerap kali menjadi pembicara pada beragam topik di kota-kota populer di Asia-Pasifik seperti Jakarta, Singapura, Kuala Lumpur, Manila, Bangkok, Dubai, dan New Delhi. Founder & Host The Grandsaint Show yang pernah masuk dalam Top 101 podcast kategori Self-Improvement di Apple Podcasts Indonesia versi Podstatus.com pada tahun 2021.

Seni Mengelola Tim Multigenerasi

Kompas.com - 11/04/2023, 12:49 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sebaliknya, kita harus berbicara secara terbuka satu sama lain tentang preferensi kita, terutama dalam metode komunikasi. Manajer dari berbagai generasi dapat memberi contoh dengan membantu anggota timnya menemukan cara untuk berkomunikasi dengan jelas satu sama lain.

Jika kita memiliki bawahan langsung yang lebih tua dan lebih muda, tanyakan kepada karyawan kita interaksi seperti apa yang paling nyaman bagi mereka.

Belajar dari dua CEO beda generasi di atas: CEO dari generasi baby boomers memiliki pengalaman kerja puluhan tahun dan memahami bahwa berbicara dengan pelanggan dan kolega melalui telepon dan bertemu dengan mereka secara langsung adalah penting saat membangun hubungan yang menarik dan tahan lama.

Namun, CEO dari generasi milenial menghabiskan tahun-tahun formatifnya berkomunikasi melalui pesan teks dan email. Tampaknya formatnya lebih cepat dan efisien (mirip dengan 65 persen  generasi z).

Sama seperti tidak ada gaya kerja yang benar atau salah, tidak ada metode komunikasi yang benar atau salah. Tunjukkan bawahan langsung kita bahwa kita bersedia keluar dari zona nyaman. Kompromi adalah kunci untuk menemukan jalan tengah yang tidak menghakimi, jadi cobalah menganggap perbedaan kita sebagai kesempatan belajar.

Misalnya, kita dapat beralih di antara metode komunikasi bergantung pada tujuan percakapan. Bertukar email untuk pendekatan yang lebih cepat dan lebih efisien, tetapi bertemu langsung saat percakapan membutuhkan keintiman tambahan dan pembangunan hubungan.

Ketiga, hormat pada batasan. Representasi yang lebih luas dari kelompok usia di tempat kerja telah memperkenalkan keyakinan dan nilai baru ke dalam kantor. Topik tabu di masa lalu, seperti keragaman dan inklusi, kesehatan mental, dan peran gender, menjadi banyak dibahas dalam lingkungan profesional.

Sama seperti ras, etnis, jenis kelamin, orientasi seksual, agama, disabilitas, kelas, kepribadian, dan latar belakang pendidikan seseorang akan memengaruhi seberapa nyaman mereka membicarakan topik-topik ini di tempat kerja, begitu pula usia dan asuhan mereka.

Gerhardt menjelaskan, penelitian menunjukkan generasi muda cenderung lebih progresif mengenai masalah sosial, serta lebih nyaman membicarakan topik yang sebelumnya dianggap tabu di tempat kerja. Ia menekankan bahwa kesediaan karyawan yang lebih muda untuk menerima dan menormalkan diskusi tentang topik-topik penting ini menghasilkan penurunan stigma yang secara tradisional melingkupi pembicaraan tentang mereka di tempat kerja.

Penting juga untuk diingat bahwa perasaan karyawan kita tentang topik ini akan bervariasi. Tidak perlu setiap orang setuju, tetapi penting bagi mereka untuk memahami mengapa organisasi memberi nilai tinggi pada masalah yang sedang dibahas.

Prestasi paling menantang yang mungkin kita hadapi sebagai manajer dari karyawan yang lebih tua dan lebih muda akan melibatkan penghormatan terhadap berbagai batasan dari masing-masing anggota tim kita sambil menjunjung tinggi nilai, batasan, dan aturan dasar kita sendiri.

Untuk menciptakan lingkungan di mana setiap orang merasa bersedia untuk meminta bantuan, membagikan ide terbaik mereka, dan mengambil risiko, kita perlu memprioritaskan keamanan psikologis. Orang-orang datang berinteraksi dengan pengalaman berbeda dan berbagai tingkat keinginan untuk terlibat.

Peran manajer adalah untuk memberikan kesempatan berkelanjutan untuk melakukan diskusi ini, bukan untuk memaksa orang ke sudut pandang tertentu. Saat menavigasi topik yang menantang semacam itu, akan sangat membantu bagi manajer untuk mendasari percakapan dalam diskusi tentang bagaimana masalah tersebut relevan dengan nilai-nilai organisasi dan misi keseluruhan.

Misalnya, dalam hal keragaman dan inklusi, ada perspektif hukum, moral, dan strategis yang penting untuk dipertimbangkan. Tidak perlu bagi setiap orang dalam organisasi untuk menyetujui atau berbagi prioritas yang sama, tetapi penting bagi mereka untuk memahami mengapa organisasi memberi nilai tinggi pada masalah yang sedang dibahas.

Kita juga perlu memfasilitasi diskusi tentang norma-norma bersama yang paling sesuai untuk tim kita, daripada mengabaikan cara yang selalu dilakukan atau mendukung preferensi satu kelompok usia di atas yang lain. Kita bisa mencoba menciptakan perubahan di tingkat organisasi dengan berbicara kepada manajemen tentang mengembangkan inisiatif yang mendorong generasi yang lebih tua dan lebih muda untuk terhubung dan berbagi keahlian mereka, seperti program mentoring bersama.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com