Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agung Setiyo Wibowo
Author

Konsultan, self-discovery coach, & trainer yang telah menulis 28 buku best seller. Cofounder & Chief Editor Kampusgw.com yang kerap kali menjadi pembicara pada beragam topik di kota-kota populer di Asia-Pasifik seperti Jakarta, Singapura, Kuala Lumpur, Manila, Bangkok, Dubai, dan New Delhi. Founder & Host The Grandsaint Show yang pernah masuk dalam Top 101 podcast kategori Self-Improvement di Apple Podcasts Indonesia versi Podstatus.com pada tahun 2021.

Seni Membangun Resiliensi di Tempat Kerja

Kompas.com - 02/06/2023, 13:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Jelas bahwa stres dan kelelahan terkait dengan peningkatan kecepatan dan intensitas pekerjaan sedang meningkat secara global.

Survei terhadap lebih dari 100.000 karyawan di Asia, Eropa, Afrika, Amerika Utara, dan Amerika Selatan menemukan bahwa depresi, stres, dan kecemasan karyawan menyumbang 82,6 persen semua kasus kesehatan emosional tahun 2014, naik dari 55,2 persen pada 2012.

Selain itu, survei longitudinal skala besar baru-baru ini terhadap lebih dari 1,5 juta karyawan di 4.500 perusahaan di 185 negara yang dilakukan sebagai bagian dari Global Corporate Challenge menemukan bahwa sekitar 75 persen tenaga kerja mengalami tingkat stres sedang hingga tinggi.

Lebih khusus lagi, bahwa 36 persen karyawan melaporkan merasa stres atau sangat stres di tempat kerja, dengan 39 persen lainnya melaporkan tingkat stres di tempat kerja sedang.

Tingkat stres saat ini dan yang meningkat di tempat kerja begitu memprihatinkan, karena ada hubungan langsung dan merugikan antara stres negatif, kesehatan, dan produktivitas.

Satu perbedaan penting yang perlu diperhatikan adalah ada beberapa jenis stres yang mungkin juga berdampak positif pada kesejahteraan dan produktivitas kita.

"Stres yang baik", atau yang terkadang dikenal sebagai "stres eudaemonik", (berasal dari kata Yunani "eudaemonia", atau berkembang) menunjukkan bahwa beberapa jenis stres dapat membuat kita lebih sehat, memotivasi kita untuk menjadi yang terbaik dan membantu kita.

Cara yang berguna untuk memikirkannya adalah bahwa stres didistribusikan pada kurva berbentuk lonceng.

Setelah melewati puncak kinerja tinggi di mana stres memotivasi kita, kita mengalami efek tidak sehat dari stres yang, jika dipertahankan dari waktu ke waktu, tidak hanya menyebabkan kelelahan, tetapi juga penyakit kronis.

Selama dua belas tahun, S. Maddi dan D. Khoshaba mempelajari karyawan sebuah perusahaan telekomunikasi besar di Amerika Serikat ketika industri tersebut sedang dideregulasi.

Perusahaan terus berubah dan pekerjaan dipertaruhkan. Namun, apa yang ditunjukkan oleh penelitian itu sangat mengejutkan.

Selama periode dua belas tahun penelitian berlangsung, hampir 50 persen karyawan kehilangan pekerjaan dan dua pertiga lainnya mengalami peristiwa kehidupan yang penuh tekanan (termasuk perceraian, masalah kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan, dan serangan jantung).

Meskipun demikian, sepertiga pekerja tidak hanya selamat dari tantangan luar biasa yang mereka hadapi, mereka benar-benar berkembang.

Dalam buku mereka yang berjudul 'Resilience at Work: How to Success No Matter What Life Throws on You' Maddi dan Khoshaba (2006) melaporkan bahwa dari individu yang mereka pelajari, karyawan yang mempertahankan posisinya terus mendapatkan promosi alias kariernya makin cemerlang, sementara mereka yang cukup disayangkan untuk kehilangan pekerjaan baik memulai perusahaan mereka sendiri atau mengambil pekerjaan 'penting secara strategis' di perusahaan lain.

Jadi bagaimana kita dapat mengembangkan resiliensi dan tetap termotivasi dalam menghadapi stres negatif kronis dan tuntutan, kompleksitas, dan perubahan yang terus meningkat?

Berikut adalah beberapa strategi, berdasarkan beberapa penelitian ilmu saraf, perilaku, dan organisasi kekinian.

Pertama, cari dukungan. Menjalin hubungan dengan orang-orang yang dapat memberikan dukungan sosial – dan mendengarkan kita – dapat membantu memperkuat resiliensi. Terima bantuan dan dukungan dari keluarga, teman, kolega, dan mentor.

Kedua, lihat kemunduran sebagai hal sementara. Hindari melihat krisis sebagai hal yang tidak dapat diatasi dan pertahankan pandangan jangka panjang ke masa depan.

Kita tidak dapat mengubah fakta jika ada peristiwa yang sangat menegangkan terjadi, tetapi kita dapat mengubah cara menafsirkan dan menanggapi peristiwa tersebut.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com