Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Nita Trismaya
Dosen

Akademisi/Antropolog Kebaya

Kebaya Indonesia dalam Diskursus Orisinalitas Budaya

Kompas.com - 31/08/2023, 16:13 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Eicher menegaskan ethnic dress mulai eksis ketika kelompok-kelompok masyarakat membandingkan pakaian yang mereka kenakan dengan pakaian yang dikenakan kelompok masyarakat lain, seperti temuan Sandra Niessen dalam pakaian Batak yang terjadi dari dinamika pengaruh budaya Muslim Melayu, misionaris Kristen dan kolonial Eropa.

Hilda Kuper (1973) yang meneliti pakaian Swazi menggambarkan relasi kompleks sebuah negara di benua Afrika yang mendapat pengaruh budaya modern (Barat).

Ia melihat tidak ada tren pakaian yang sifatnya tunggal karena pakaian bukan semata hasil dari kreasi individual yang mengekspresikan pilihannya, tetapi juga terkait dengan aspek sosial, ekonomi dan politik yang berlaku saat itu.

Interpretasi terhadap identitas pakaian pada masa kini telah bergerak dari batas-batas budaya menuju pada interkoneksi global sebagai konsekuensi dari globalisasi yang terus melintasi negara-negara dan menguatkan terjadinya interaksi yang saling memengaruhi.

Apabila orisinalitas direlasikan dengan identitas, kita perlu menengok Stuart Hall dalam Questions of Cultural Identity yang mempertanyakan siapa yang sesungguhnya membutuhkan ‘identitas’, khususnya bagi yang hidup pada masa modern akhir.

Menurut Hall, identitas budaya sesungguhnya tidak stabil, bahkan terfragmentasi dan tidak bersifat tunggal disebabkan terjadinya proses perubahan yang terus menerus secara kultural, sebagai proses konstruksi yang tidak pernah lengkap dan “selalu berproses” (hlm.2).

Argumen ini mengingatkan catatan sejarah yang mengonstruksikan kebaya sebagai simbol perlawanan terhadap pemerintah kolonial pada masa pra kemerdekaan, kemudian menjadi identitas nasional Indonesia masa pascakemerdekaan sebagai negara baru.

Pada masa Orde Baru, kebaya berubah menjadi identitas yang direlasikan dengan hegemoni budaya Jawa, sehingga ketika memasuki masa pascareformasi timbul pembelokkan pemahaman bahwa kebaya adalah (semata) Jawa, meskipun sebenarnya tradisi memakai kebaya terdapat juga di daerah-daerah lain di luar pulau Jawa.

Argumen Shelag Weir mengenai tidak tepatnya asumsi “One Village, One Style” menjadi dasar yang komprehensif dalam mengukur valid atau tidaknya “One Nation, One Style” terhadap klaim orisinalitas kebaya Indonesia.

Karena pada hakikatnya budaya nusantara terbentuk dari proses panjang akulturasi dan asimilasi yang telah berlangsung ratusan tahun antara budaya lokal dan budaya luar.

Identitas kebaya terbentuk dari terjalinnya interaksi antara nilai-nilai lokal dan budaya luar Indonesia yang terus berproses dan bernegosiasi.

Dengan demikian, kebaya tidak dapat mengelakkan diri dari interkoneksi global semenjak awal keberadaannya di bumi nusantara sampai saat ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com