Penulis
KOMPAS.com – Kasus meninggalnya mahasiswa Universitas Udayana, Timothy Anugerah Saputra, membuka kembali perbincangan publik tentang perilaku perundungan di dunia maya.
Pasca-kejadian itu, beredar tangkapan layar berisi komentar dan pesan mengejek korban, bahkan setelah ia meninggal dunia.
Psikolog Vera Itabiliana, S.Psi., menyebut pentingnya memiliki rasa empati baik di dunia nyata atau di ruang digital.
Ia menjelaskan, empati merupakan kemampuan memahami dan merasakan apa yang orang lain rasakan, lalu menyesuaikan respons berdasarkan pemahaman itu.
“Di dunia maya, empati berarti kesadaran bahwa di balik setiap akun atau komentar ada manusia nyata dengan perasaan, pengalaman, dan batas emosi,” jelas Vera kepada Kompas.com, Senin (20/10/2025).
Komunikasi digital, lanjutnya, sering kehilangan nuansa emosional, tidak ada ekspresi wajah, intonasi, atau bahasa tubuh.
“Tanpa empati, kita mudah menulis hal-hal yang sebenarnya tidak akan kita ucapkan jika bertemu langsung,” ujarnya.
Baca juga: Orangtua yang Mendengarkan Bisa Lindungi Anak Jadi Korban Bullying
Vera menjelaskan, ada beberapa faktor yang membuat seseorang bisa dengan mudah menulis komentar kejam.
“Efek jarak digital membuat seseorang merasa aman karena tidak langsung melihat reaksi korban,” katanya.
Selain itu, ketika melihat banyak orang lain berkomentar negatif, individu cenderung ikut-ikutan karena merasa tindakannya ‘normal’.
Ada juga yang menyalurkan frustrasi pribadi atau mencari validasi melalui perhatian di media sosial.
“Kurangnya kesadaran emosional dan latihan empati membuat mereka tidak sadar bahwa komentar sekilas bisa sangat melukai,” tambahnya.
Baca juga: Cara Mengajarkan Empati pada Anak di Tengah Gejolak Politik Menurut Psikolog
Menurut Vera, diam bukan pilihan.
“Diam bisa diartikan sebagai dukungan,” tegasnya.
Kita bisa menunjukkan empati dengan melaporkan konten yang melanggar aturan, mengirim pesan dukungan pribadi kepada korban, atau tidak ikut menyebarkan dan memberi “like” pada komentar negatif.