Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Memahami Psikologi di Balik Kegemaran Mengoleksi Tas Mewah

Harganya yang fantastis juga membuat sejumlah kalangan mempertanyakan sumber dananya, seperti istri Rafael Alun yang kemudian diduga menerima gratifikasi.

Di sisi lain, banyak pula yang penasaran alasan banyak orang berlomba-lomba memiliki sejumlah tas branded ini.

Mereka tak ragu mengeluarkan uang ratusan hingga miliar rupiah hanya demi sebuah tas tangan buatan desainer ternama.

Benarkah karena terpikat dengan kualitasnya atau hanya demi gengsi semata?

Psikologi dari perilaku mengoleksi tas mewah

Psikolog sekaligus Founder Bliss Happiness Clinic, Ratri Kartikaningtyas, M.Psi, mengatakan, perilaku mengoleksi tas mewah sebenarnya bisa menjadi hal yang wajar ketika kondisi finansial seseorang mendukung.

"Sebenarnya seperti koleksi barang seni, itu kan juga tidak murah," terangnya kepada Kompas.com.

Namun, kesukaan pada tas branded mahal menjadi tidak wajar ketika seseorang merasa harus memilikinya dan memiliki keinginan kuat untuk memamerkannya kepada orang lain.

"Dalam hal ini tidak wajar karena sudut pencitraannya itu," terang Ratri.

"Menjadi tidak wajar karena kebutuhan pencitraan sangat berlebihan untuk mendapatkan perasaan berharga atas dirinya sehingga impulsif memiliki pulusan hingga ratusan," tambahnya.

Hal ini tidak hanya berlaku pada tas mahal buatan desainer, tetapi juga barang mewah lainnya, seperti mobil, motor, dan sepeda yang sempat tren beberapa waktu lalu.

"Bukan hanya soal jumlahnya, namun juga kebutuhan pencitraannya," kata Ratri.

Ratri mengatakan, ada dua perspektif yang berpengaruh, yakni secara individu dan sosial.

Secara individu, ia mengalami krisis percaya diri, kebutuhan untuk diakui, dan kesulitan untuk merasa dirinya berharga.

Selain itu, tas branded dijadikan sebagai identitas sosial atau cara meraih status sosial tertentu.

"Bisa jadi seorang individu kurang nyaman dengan hal tersebut, namun ia butuh masuk dan diterima oleh kelompoknya karena hal ini menjadi simbol identitas kelompok tersebut," terangnya.

Kepemilikan tas mahal membuatnya lebih percaya diri, merasa berharga, punya kebanggaan, dan eksistensi diri.

"Padahal, eksistensi bisa diperoleh dengan pengembangan kepribadian bukan kepemilikan barang," pesan Ratri.

Kecenderungan tidak wajar ini bisa dikenali dari perilaku sehari-hari pemiliknya, termasuk lewat unggahan media sosialnya.

Misalnya ketika mereka terus-terusan hanya menunjukkan perilaku terkait kepemilikan barang tersebut dan tidak pernah menampilkan aktivitas lainnya.

"Istilahnya semuanya terkait kepemilikan barang tersebut, tidak ada aktivitas lain yang ditonjolkan, yang dipamerkan cuma barang itu," urai Ratri.

Meski demikian, Ratri menilai bahwa kecenderungan mengoleksi tas mewah yang tergolong tidak wajar ini bukan suatu gangguan perilaku.

Hanya saja, tetap ada kerugian yang bisa berdampak pada orangnya ataupun keluarga.

Misalnya stabilitas ekonomi keluarga yang rusak akibat pengeluaran berlebihan dan perasaan gelisah serta tidak berharga.

Sedangkan bagi orang di sekitarnya, imbas negatifnya dirasakan ketika orang tersebut berkompetisi dengan menghalalkan segala cara demi mendapatkan tas mewah incarannya.

https://lifestyle.kompas.com/read/2023/04/06/132541120/memahami-psikologi-di-balik-kegemaran-mengoleksi-tas-mewah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke