Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Waspada 3 Gangguan Mental di Era Teknologi

Oleh: Alifia Putri Yudanti dan Ikko Anata

KOMPAS.com - Berada di zaman yang penuh dinamika dengan tingginya penggunaan teknologi turut memengaruhi kesehatan mental kita. Di sisi lain, kepedulian warganet Indonesia terhadap kesehatan mental semakin tinggi.

Ada kalanya kita merasa dekat dengan diri sendiri, namun terkadang pula kita merasa tidak baik-baik saja. Itulah mengapa ada beberapa gejala yang cukup mengganggu mental dan kerap dialami oleh kita. Apa saja?

1. Enggan Menjadi Diri Sendiri

Penggunaan media sosial yang masif membuat kita sulit menjadi diri sendiri. Banyak influencer atau artis yang membuat kita ingin terlihat seperti mereka. Akhirnya, kita pun kehilangan ciri khas diri.

Selain itu, fenomena FOMO atau fear of missing out membuat kita merasa terkucilkan jika tak mengikuti tren yang sedang ramai dibicarakan. Padahal, belum tentu kita nyaman melakukan itu. Namun, demi mendapat pengakuan, kita pun berusaha memenuhinya.

Setiap harinya, kita dihadapkan dengan perasaan stres karena selalu memenuhi tuntutan orang lain dan arus. Kita hanya memandang orang lain dan berharap bisa menjadi seperti mereka.

Padahal, dalam siniar Anyaman Jiwa bersama Teman Bincang episode “Tanda Kamu Berhasil Jadi Dirimu Sendiri” dengan tautan bit.ly/AnyJiwDirimu, dijelaskan kita tak bisa menjadi orang lain. Setiap orang memiliki keunikan masing-masing tanpa perlu mengorbankan diri mengikuti orang lain.

Apabila berhasil menjadi diri sendiri, kita akan melakukan sesuatu bukan untuk mengesankan orang lain. Misalnya, kita melakukan diet agar tubuh menjadi lebih sehat dan bukan untuk mendapat pujian dari orang lain.

2. Kurangnya Empati Terhadap Orang Lain

Di zaman ini, kita sering menemui fenomena orang yang enggan membantu orang lain yang sedang kesulitan. Bahkan, hal itu menjadi perbincangan kalau anak-anak di zaman ini kurang memiliki empati.

Ternyata, jika kondisi ini terus terjadi, bisa menunjukkan tumpulnya emosi seseorang.

Dalam siniar Anyaman Jiwa episode “Mati Rasa Secara Emosional” dengan tautan bit.ly/AnyJiwEmosional, mati rasa emosional digambarkan dengan perasaan hampa atau terasing saat berada dalam kondisi tertentu, seperti bahagia atau sedih. Bisa saja kondisi ini bersifat permanen atau sementara.

Melansir Psych Central, orang yang mengalami kondisi ini biasanya merupakan respons perlindungan diri terhadap trauma, stres, rasa sakit, atau ketidaknyamanan yang mungkin dialami. Alih-alih merasakan emosi intens, penderitanya justru lebih memilih mengalihkan emosinya.

Ada beberapa penyebab seseorang mengalami mati rasa secara emosional ini. Salah satunya, adanya pengalaman traumatis, misalnya pernah mengalami pelecehan atau kekerasan. Orang yang pernah mendapatkan perlakuan seperti itu akan memilih untuk menutup dirinya.

Mematikan perasaan emosional digunakan untuk menutupi rasa sakit emosional yang terus menghantui, terlebih saat mereka mengingat kembali kejadian tersebut.

Hidup dengan trauma juga menyebabkan beberapa orang mengalami disosiasi, yang terkadang terlihat mirip dengan mati rasa secara emosional, namun tidak sama. Disosiasi terkait trauma mengacu pada perasaan terpisah atau terlepas dari diri sendiri, pikiran, dan emosi.

3. Cemas Status Baterai di Gawai

Smartphone adalah benda yang tak terpisahkan dari manusia di era digital seperti kita. Ke mana pun kita pergi, kita pasti selalu menggenggam dan menggunakan smartphone. Terlebih, fitur-fitur di dalamnya sangat membantu kehidupan sehari-hari.

Alhasil, kita jadi bergantung pada benda mungil itu dan menjadi cemas jika baterainya menunjukkan tanda merah; butuh dicas.

Dengan segala cara, kita akan fokus untuk mencari stop kontak agar ia kembali terisi dan dapat digunakan. Itulah mengapa banyak tempat atau fasilitas umum yang menyediakan hal ini.

Tak hanya itu, terkadang pula kita merasa bingung dan cemas saat ponsel kita tak dapat digunakan sama sekali. Dalam siniar Anyaman Jiwa episode “Cemas HP Lowbat? Awas Low Battery Anxiety” dengan tautan akses bit.ly/AnyJiwLowbat, kondisi ini disebut sebagai low battery anxiety.

Apabila kecemasan itu semakin parah, bahkan dapat memicu nomofobia atau ketakutan tanpa ponsel pintar. Dalam Wired, Sengül Uysal, peneliti tentang nomofobia, mengatakan orang-orang yang merasa cemas mayoritas menggunakan ponsel untuk menghindari hubungan tatap muka.

Itulah mengapa, saat ponsel mati, muncul perasaan cemas karena bingung harus berbuat apa. Ketergantungan ini tidaklah baik karena bisa mengarahkan kita menjadi pribadi yang lebih tertutup atau mengandalkan persona kita di media sosial yang tertanam rapat dalam ponsel tersebut.

Dengarkan informasi lainnya seputar kesehatan mental ranah pribadi, sosial, dan romansa hanya melalui siniar Anyaman Jiwa di Spotify. Akses juga playlist-nya di YouTube Medio by KG Media agar kamu tak tertinggal episode terbarunya!

https://lifestyle.kompas.com/read/2023/09/05/124819720/waspada-3-gangguan-mental-di-era-teknologi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke