Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Solusi Putus Cinta: Belajar dari Kasus Fat Cat

BEBERAPA waktu terakhir, nama "Fat Cat" alias Liu Jie kembali menarik perhatian warganet. Laporan terbaru dari Kepolisian Chongqing, China, pada 19 Mei 2024, menyatakan bahwa Tan Zhu yang merupakan mantan kekasih Fat Cat, dinyatakan tidak sepenuhnya bersalah atas insiden kematian Fat Cat.

Fat Cat adalah seorang pemuda China kelahiran 2003, yang bekerja sebagai seorang gamer yang sukses.

Fat Cat ialah username yang sering ia pakai untuk bermain game. Dirinya merupakan proplayer dari game "Honor of Kings".

Ia berhasil menyelesaikan 7.000 pertandingan dengan tingkat kemenangan 91 persen dan menjadi salah satu top gamer.

Dari bermain game ia dikenal dan mempunyai penggemar di kalangan gamers di China. Berita kepergian Fat Cat yang mempunyai prestasi gemilang, berhasil menggemparkan netizen di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.

Fat Cat dikabarkan meninggal pada 11 April 2024, karena bunuh diri. Sejauh ini, belum ada yang mengetahui secara pasti apa motif Fat Cat mengakhiri hidupnya.

Namun, beberapa sumber menyatakan alasan Fat Cat tidak jauh dari keputusasaan akibat permasalahan di dalam hubungan percintaan.

Fat Cat adalah salah satu dari sekian banyak kasus bunuh diri yang diawali peristiwa putus cinta.

Kasus bunuh diri lainnya yang terkait dengan peristiwa putus cinta antara lain: kasus AM, seorang pemuda di Ngawi, Jawa Timur yang ditemukan mengakhiri hidup dengan kondisi gantung diri (27/02/2024).

Selain itu, seorang mahasiswi asal Sleman yang mengakhiri hidupnya karena dikecewakan oleh kekasihnya (31/03/2024). Lalu MDAM seorang remaja asal Gresik yang ditemukan gantung diri karena putus cinta (07/04/2024).

Peristiwa bunuh diri dapat dijelaskan oleh rendahnya kemampuan regulasi diri individu, khususnya pada aspek emosi (emotion self-regulation) (Ong & Thompson, 2019; Tamas, 2007).

Menurut Billen (2022), emotion self-regulation merupakan kemampuan individu untuk mengenali serta mengendalikan emosi yang dirasakannya.

Salah satu penelitian di Hungaria mengungkapkan bahwa kemampuan regulasi emosi yang buruk menjadi penyebab sejumlah remaja melakukan bunuh diri (Tamas, 2007).

Ketika individu putus cinta, akan terjadi berbagai emosi negatif seperti marah, sedih, gelisah, kecewa, dan lain-lain. Saat individu mengalami begitu banyak emosi negatif, individu akan sulit, bahkan tidak mampu untuk mengendalikannya.

Berbagai emosi negatif yang dialami lebih lanjut dapat berpengaruh terhadap proses kognisi (persepsi/perhatian, ingatan, pemikiran, dan pengambilan keputusan).

Saat sedang mengalami emosi negatif, perhatian dan persepsi individu cenderung terfokus pada peristiwa atau pengalaman negatif serta informasi yang sejalan dengan suasana hati mereka.

Perhatian terhadap berbagai peristiwa/pengalaman negatif menimbulkan persepsi dan pemaknaan hidup tidak lagi berharga.

Dalam hal ini, terjadi distorsi kognitif yang menyebabkan pola pikir negatif. Fokus perhatian individu menjadi eksklusif pada aspek negatif dari situasi dan mengabaikan hal-hal positif.

Individu berpikir ekstrem, tanpa mengenali alternatif yang lebih positif; atau individu hanya terfokus pada kondisi dirinya saat ini, tidak sadar bahwa ada alternatif yang lebih baik.

Saat berada dalam kondisi mental yang sangat negatif, individu berpikir, "Saya mengalami peristiwa buruk, kehidupan saya akan berjalan dengan buruk", "Saya adalah orang yang gagal", “Saya tidak memiliki harapan terhadap masa depan.”

Individu takut bahwa peristiwa yang menimbulkan emosi negatif tersebut terulang kembali di kemudian hari. Individu hanya mengingat kegagalan dan melupakan semua pencapaiannya.

Individu berpikir pesimistis, merasa tidak berdaya, dan memandang bahwa hidup ini tidak lagi berharga. Individu pada akhirnya memiliki ide, mempertimbangkan, dan akhirnya mengambil keputusan untuk mengakhiri hidup.

Demikian adalah penjelasan bagaimana emosi negatif yang dialami dapat menyebabkan ide bunuh diri.

Penelitian oleh Ong dan Thompson (2019) mengingatkan kepada kita bahwa sangat penting memiliki strategi koping dan kemampuan melakukan regulasi emosi yang baik agar individu terhindar dari ide untuk melakukan bunuh diri.

Berkaitan dengan kasus Fat Cat, jika benar dugaan bahwa ia bunuh diri oleh karena putus cinta, maka Fat Cat mengalami ketidakmampuan dalam melakukan regulasi diri, khususnya regulasi emosi.

Ia mengalami berbagai emosi negatif yang dirasakan setelah putus cinta atau ditinggal oleh kekasihnya; dan ia tidak mampu mengelolanya.

Dengan memahami bahwa regulasi diri yang buruk dapat memicu timbulnya ide bunuh diri, sangat penting bagi yang memiliki pasangan ataupun yang berencana memiliki pasangan, untuk mampu melakukan regulasi diri (regulasi emosi).

Setidaknya terdapat dua cara untuk meningkatkan regulasi emosi, yaitu melatih mindfulness dan cognitive reappraisal.

Pertama dengan melakukan latihan mindfulness (Schulte?Frankenfeld & Trautwein, 2022). Mindfulness dapat dilatih dengan:

  1. menyadari apa tujuan dari aktivitas yang sedang kita lakukan;
  2. memperhatikan setiap aktivitas sensoris yang sedang kita lakukan;
  3. memberikan nama/label pada perasaan/emosi yang sedang kita alami;
  4. tetap tenang, tidak reaktif terhadap emosi yang kita alami, senegatif apapun;
  5. tidak menilai/menyatakan bahwa suatu peristiwa adalah hal yang negatif (Baer et al., 2006).

Kedua, regulasi diri (regulasi emosi) dapat ditingkatkan dengan melakukan cognitive reappraisal (Stiller et al., 2019).

Cognitive reappraisal adalah usaha untuk meninjau ulang (memaknai) situasi yang berpotensi menimbulkan emosi tertentu sehingga individu dapat mengubah emosi yang sedang ia alami (Gross, 2015).

Contoh penerapan cognitive reappraisal adalah ketika individu mendapatkan pengalaman putus cinta; alih-alih merasa sedih, kecewa, marah, dan berbagai emosi negatif lainnya, individu justru berpikir bahwa peristiwa putus cinta tersebut sebagai suatu kesempatan untuk:

  1. memiliki lebih banyak waktu dalam melakukan pengembangan/ meningkatkan kualitas diri;
  2. terbebas dari hubungan yang mungkin berpotensi kurang sehat (toxic relationship);
  3. punya banyak kesempatan dan kebebasan yang mungkin selama ini belum didapatkan;
  4. meluangkan waktu bersama keluarga yang mungkin selama ini terabaikan;
  5. lebih fokus terhadap cita-cita;
  6. mencari kebahagiaan bukan saja dari komunikasi dengan pacar, tetapi bisa didapatkan dari banyak hal lain;
  7. menghemat pengeluaran untuk hal yang lebih bermanfaat;
  8. memilih sahabat/rekan yang lebih baik;
  9. menjadi lebih mandiri; dan
  10. memikirkan/mempertimbangkan status hubungan yang dikehendaki (apakah akan memilih untuk hidup berpasangan, atau memilih untuk hidup selibat).

Demikian, menghadapi peristiwa putus cinta bukan hal sepele. Regulasi emosi yang baik sangat diperlukan individu untuk mengatasi berbagai emosi negatif yang berpotensi muncul akibat peristiwa putus cinta.

Dengan memahami dan melatih strategi regulasi emosi seperti mindfulness atau cognitive reappraisal, individu dapat belajar mengendalikan berbagai emosi negatif yang muncul; hingga terhindar dari ide atau keputusan mengakhiri hidup.

*Aulya Rizqi Amelia, Dien Putri Aulia, Felicity Wijaya, dan Karen Vanetta - Mahasiswa S1 Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara
P. Tommy Y. S. Suyasa - Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara

https://lifestyle.kompas.com/read/2024/06/19/142450820/solusi-putus-cinta-belajar-dari-kasus-fat-cat

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke