Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cinta (Tak) Berat Sebelah pada Anak Tiri

Kompas.com - 20/08/2009, 14:39 WIB

Kalau bicara soal hubungan ibu tiri dan anak tiri, pasti langsung terbayang kisah penuh air mata seperti film Ratapan Anak Tiri yang sempat ngetop di tahun 70-an itu. Film itu -setelah kisah Upik Abu dan Cinderela- seolah "menegaskan" bagi setiap anak bahwa orangtua tiri adalah sosok yang menyeramkan dan harus dijauhi. Cintanya selalu dianggap palsu, kasih sayangnya semu, dan perhatiannya sepihak.

Mengapa orangtua tiri dianggap "jauh" dari perilaku mencintai anak kandungnya? Tak lain karena kita sudah telanjur membenarkan imej soal keburukan orangtua tiri. Maka, ketika anak-anak menolak kehadiran orangtua tiri, bisa jadi lantaran mereka khawatir orangtua baru ini akan menjadi awal bencana dan penyebab timbulnya masalah-masalah baru dalam keluarga kelak.

Selain itu, tak dapat dipungkiri adanya faktor kedekatan dan emosi orangtua dengan anak. Pada orangtua kandung, kedalaman emosi dibangun sejak anak masih di kandungan, sehingga terjalinlah ikatan/bonding yang erat. Sedangkan hubungan orangtua tiri-anak tiri lemah karena
kurangnya hubungan emosional dan singkatnya kebersamaan (baru muncul saat orangtua tiri masuk ke dalam keluarga). Hal itu menambah sulit hubungan orangtua tiri dan anak dri dan bahkan membuat frustrasi.

Tak Rela

Beberapa penelitian menunjukkan, anak-anak di bawah usia 5 tahun lebih mudah beradaptasi dengan orangtua barunya dibanding anak yang lebih besar, khususnya usia praremaja ke atas. Dengan kata lain, seorang anak berusia 10 tahun mungkin membutuhkan waktu 10 tahun sebelum mereka merasa benar-benar memiliki hubungan yang nyata dengan ayah/ibu tirinya.

Pasalnya, semakin besar usia anak, semakin ia menyadari bahwa hubungan orangtua kandungnya telah "porak-poranda", entah akibat kematian atau perceraian. Itu saja sudah membuat emosi mereka terguncang. Kehadiran orangtua tiri, ibaratnya seperti memberi "smackdown", pukulan dua kali karena mereka dihadapkan kenyataan harus menerima orang baru sebagai pengganti orangtua kandung mereka.

Kehadiran orang lain juga membuat mereka khawatir akan menimbulkan perubahan-perubahan dalam rumah yang diprakarsai oleh orangtua tiri itu. Terbayang oleh mereka adanya banyak peraturan baru, tata ruangan baru, dan segala yang serba baru yang belum tentu sama seleranya. Anak-anak bisa saja berpikir, "Aduh, aku enggak bisa bebas lagi di rumah sendiri."

Harapan Realistis
Berdasarkan kekhawatiran-kekhawatiran tersebut, jelaslah bahwa anak-anak tiri sering merasa bingung terhadap hubungan keluarga baru dan "benci" terhadap perubahan yang mungkin dibawa ke dalam kehidupan mereka.

Menyadari kedua hal ini, sebaiknya orangtua tiri tak perlu tergesa-gesa "masuk" ke dalam kehidupan anak-anak. Jika orangtua tiri dijauhi atau ditolak, jangan mudah sakit hati.
Umumnya perilaku ini muncul karena anak-anak bingung atas hubungan yang baru ini
dan mereka tak mau kehilangan orangtua kandung mereka, baik secara fisik maupun emosi.

Beri anak-anak ruang dan waktu untuk mengatasi emosi mereka. Memberi mereka "jarak" tapi diiringi sikap tulus dari orangtua tiri malah akan menimbulkan kedekatan yang perlahan-lahan
tumbuh.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com