Jakarta, Kompas -
”Penurunan harga selambat- lambatnya dilakukan 1 Maret,” kata Anthony CH Sunarjo, Ketua Umum GP Farmasi, Jumat (25/2) di Jakarta. Keputusan ini diambil GP Farmasi mengingat kondisi daya beli masyarakat Indonesia yang semakin sulit.
Menurut hasil temuan GP Farmasi, dari sekitar 200 industri farmasi di Indonesia, hanya 15 industri yang menaikkan harga obat. Kenaikan harga obat ini terjadi pada produk obat generik bermerek yang cepat laku.
Beberapa waktu sebelumnya, Kementerian Kesehatan mengimbau perusahaan farmasi nasional untuk tidak menaikkan harga obat mengingat daya beli masyarakat semakin merosot. ”Obat tidak sama dengan komoditas perdagangan lain. Pengusaha tidak bisa hanya memikirkan aspek bisnis saja, tetapi juga aspek sosialnya,” kata Sri Indrawaty, Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kemkes, yang dihubungi terpisah.
Untuk mengurangi tingginya harga obat, industri farmasi sebenarnya bisa mengurangi komponen lain, seperti mengurangi margin keuntungan dan mengurangi biaya promosi obat ethical (obat yang didapat lewat resep).
Kenaikan harga obat di pasaran mencapai 10 persen saat Kementerian Keuangan menerapkan tarif bea masuk bahan baku obat sebesar 5 persen.
Menurut Anthony, bea masuk 5 persen ini membebani industri farmasi yang menanggung kenaikan biaya lain, seperti kenaikan harga bahan baku obat yang sebagian besar diimpor, tarif dasar listrik, upah minimum regional, dan tingkat inflasi yang semakin tinggi.
Kemkes mengupayakan agar bea masuk impor bahan baku obat diturunkan. Pemerintah juga menyosialisasikan pemakaian obat generik berlogo yang disubsidi pemerintah sebagai obat murah yang dijamin mutunya.