Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 19/04/2017, 12:15 WIB
Lusia Kus Anna

Penulis

KOMPAS.com - Hari ini , Rabu 19 April 2017, warga DKI Jakarta melaksanakan hak pilihnya untuk memilih Gubernur yang baru. Barangkali ini adalah pemilihan kepala daerah dengan persaingan paling ketat di Indonesia.

Masa kampanye putaran dua berlangsung sangat sengit, masing-masing tim sukses dan pendukung dengan gencar menyodorkan kelebihan "jagoannya" dan terkadang menjatuhkan kandidat lain. Setiap pendukung terlihat sangat fanatik dengan pilihannya.

Menurut dr.Wawan Mulyawan, Ph.D, kondisi yang sama juga dialami warga Amerika Serikat dalam pemilihan Presiden lalu yang memenangkan Donald Trump.

Fanatisme seseorang terhadap pilihan politik ternyata bisa dilihat dari anatomi otaknya.

"Riset-riset di Amerika, terutama yang paling terkenal adalah riset dari Amodio study dan Kanai Colin study, menunjukkan anatomi otak yang berbeda antara kaum Republikan (konservatif) dan kaum Demokrat (liberal)," kata Wawan dalam surat elektronik.

Riset-riset tersebut hanya melihat berdasarkan hasil pemindaian otak menggunakan MRI (magnetic resonance imaging), tanpa melakukan wawancara atau pemeriksaan pada orang yang diteliti.

Dengan kata lain, penelitian itu murni membandingkan gambaran anatomi otak antara kaum konservatif dan liberal.

Hasilnya menunjukkan, struktur otak yang dinamakan korteks cingula anterior (ACC) pada kaum liberal lebih aktif fungsinya dibanding kaum konservatif.

"Penelitian tahun 2011 menunjukkan hal yang sama pada kaum liberal, yaitu ukuran ACC pada daerah substansia grisea volumenya lebih besar dibanding kaum konservatif," katanya.

Selain itu, studi Kanai atau Colin juga menemukan bahwa struktur otak yang dinamakan amigdala pada kaum konservatif tumbuh lebih besar dibandingkan pada otak kaum liberal.

Wawan menjelaskan, bagian otak ACC memiliki berbagai fungsi, seperti mendeteksi kesalahan, memonitor konflik, dan mengevaluasi atau mengukur pilihan-pilihan yang berbeda.

ACC juga sangat penting untuk regulasi emosi dan fungsi pengambilan keputusan, sehingga dapat menjamin proses kognitif kita bekerja dengan efektif.

Jika ada hal yang membingungkan atau meragukan, ACC akan memberi keputusan berdasarkan mana yang relevan dan mana yang tidak.

ACC akan memberikan hasil analisa mana yang layak ditindak lanjuti dan mana yang hanya info sampingan saja.

"Intinya ACC menjadi alat analisa untuk mengambil keputusan berdasarkan logika dan proses berpikir yang kita miliki," kata peneliti dan praktisi neurosains ini.

KRISTIANTO PURNOMO Kandidat calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta nomor urut 2, Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat serta pasangan kandidat nomor urut 3, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno saat Debat Publik Pilkada DKI Jakarta Putaran Kedua yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum Daerah DKI Jakarta di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu (12/4/2017). Pemungutan suara Pilkada DKI Jakarta putaran kedua akan dilaksanakan 19 April 2017 mendatang. KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO
Sementara itu, amigdala memiliki fungsi yang sangat berbeda dengan ACC. Amigdala lebih banyak berkaitan dengan emosi.

"Amigdala diperkirakan mempunyai  hubungan dengan tingkat reaksi emosi, termasuk dalam mempertahankan suatu keyakinan yang dogmatis. Namun demikian orang-orang dengan amigdala yang besar, diketahui mempunyai empati yang lebih tinggi," katanya.

Lantas, apa artinya terhadap afiliasi politik? Kaum liberal dikatakan mempunyai tingkat adaptasi yang lebih tinggi terhadap lingkungan yang berubah.

Hal yang berbeda dengan kaum konservatif yang cenderung stabil dalam berkeyakinan atau lebih dogmatis, dan lebih emosional dalam mempertahankan keyakinan ideologisnya.

Pilkada DKI

Hasil penelitian di AS tersebut sedikit berbeda dengan di Indonesia. Menurut Wawan, pada banyak kasus afiliasi politik di tanah air bercampur baur.

Banyak partai yang menurut terminologi konservatif dan liberal harusnya bersebrangan, malah berkoalisi mendukung pasangan calon gubernur, bupati, atau walikota, melawan pasangan lain yang juga koalisinya campuran ideologi politik.

"Menurut analisa anatomi otak di atas, ada dugaan bahwa partai politik berbeda dengan pilihan politik orang per orang. Dengan demikian, merujuk penelitian Amidio dan Kanai Colin, afiliasi politik di Indonesia lebih membingungkan," kata dia.

Ini mengingat banyak kasus dimana dua calon yang bertarung di pilkada, sering membingungkan juga mana yang ideologinya konservatif dan mana yang liberal.

Wawan berpendapat, jika di Indonesia dilakukan penelitian anatomi otak berdasarkan pilihan politiknya, bisa saja hasilnya berbeda dengan kondisi di negara lain.

"Saya hanya berharap bahwa jika suatu saat dilakukan penelitian di Indonesia tentang anatomi otak manusia Indonesia, tidak didapatkan hasil bahwa ACC dan amigdala orang Indonesia banyak yang lebih kecil atau kurang aktif," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com