Sebaliknya, para penulis berspekulasi, yang berperan besar terhadap fenomena ini adalah faktor biologis.
Faktor biologis yang dimaksud adalah perbedaan hormon dan genetik seperti estrogen yang memiliki efek anti-inflamasi, dan berguna untuk meningkatkan kekebalan tubuh.
Secara keseluruhan, riset yang dipimpin oleh Virginia Zarulli dan James Vaupel ini telah membuktikan kekuatan perempuan dalam bertahan hidup yang lebih tinggi dari pria.
"Fenomena terkait gender ini berasal dari kombinasi antara faktor biologi dan lingkungan," ucap ahli epidemiologi Sandro Galea dari Boston University School of Public Health.
"Faktor biologi mungkin tentang hormon seks, yang dikenal antiinflamasi dan memiliki efek perlindungan vaskular," tambahnya.
Baca: Ketika Melajang, Wanita Lebih Bahagia Dibanding Pria
Namun, Sandro Galea berpendapat, faktor lingkungan lebih berperan besar dibandingkan faktor biologi ini.
Menurut dia, faktor lingkungan dapat dipengaruhi oleh berbagai hal daripada faktor biologi.
Sementara itu, Peter Jay Hotez, Dekan National School of Tropical Medicine, Baylor University berpendapat, akan lebih baik jika riset ini tidak hanya mempelajari contoh-contoh kejadian dari catatan sejarah.
Dia memandang, akan penting juga diambil contoh-contoh kehidupan yang lebih modern untuk melihat apakah paradigma seperti ini masih bertahan.
Nah, jika pun mengambil contoh peristiwa ekstrem penyebaran wabah ebola di Afrika Barat pada tahun 2013, hasil riset ini pun tak bisa dibantah.
Sebab, berdasarkan laporan yang dilansir New England Journal of Medicine tahun 2016 disebutkan jumlah pasien wanita yang selamat dalam wabah ebola itu lebih banyak dibandingkan pria.
Baca juga: Ilmuwan Berhasil Ciptakan Vaksin Ebola
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.