KOMPAS.com - Berbagai industri di seluruh dunia terkena dampak sangat signifikan dari pandemi Covid-19, tidak terkecuali industri fesyen.
Perusahaan-perusahaan di bidang ritel terus mengalami kerugian. Raksasa mode asal Swedia, H&M Group, terpaksa mengambil langkah menutup 170 toko mereka di seluruh dunia.
Lalu, yang terbaru, Zara dikabarkan harus menutup 1.200 toko mereka secara permanen dan fokus pada belanja online.
Baca juga: Produk Fesyen yang Paling Banyak Dicari Selama Pandemi
Menurut desainer senior Musa Widyatmodjo, pandemi bukan hanya mengubah industri fesyen, melainkan juga kebutuhan masyarakat untuk berbusana.
"Sama seperti industri lain, industri fesyen saat ini lagi pecah fokus. Baju juga berubah fungsinya, sebagai sandang, bukan melambangkan status."
Begitu kata Musa dalam program "Fashion Ideology dan Gaya Berbusana Politisi" yang ditayangkan langsung di akun Instagram @rakyatmerdeka1999 pada Sabtu (4/7/2020) sore.
"Alasannya jelas, kita sudah tidak punya wadah atau event yang menampilkan busana sebagai status seseorang. Itu yang terjadi saat ini," ucap dia.
Dalam industri fesyen, kata Musa, orang-orang selalu mencari sesuatu yang baru dan berbeda, sesuai dengan karakter dan naluri manusia.
"Hampir empat bulan kita vakum karena pandemi. Sehingga, busana yang ada di pasaran tiga sampai empat bulan lalu tentu sekarang sudah ketinggalan zaman," kata Musa.
Baca juga: Pandemi Mendorong Label Fesyen Mewah Bergerak Lebih Lambat
Ia melanjutkan, tugas berat bagi pengusaha fesyen dan UMKM saat ini adalah berpikir bagaimana cara menciptakan sesuatu yang baru dari produk sebelumnya.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.