Dari contoh atas, misalnya, beberapa pria diajarkan untuk tidak menunjukkan kesedihan atau tangisan. Menunjukkan rasa sedih dan menangis dianggap sebagai karakteristik feminin dan hanya boleh dilakukan oleh perempuan.
Ajaran tersebut tentu berbahaya bagi kesehatan mental (dan fisik) kaum laki-laki – bahwa menahan emosi menimbulkan kerentanan untuk mengalami depresi.
Gawatnya, mencari pertolongan ahli kejiwaan juga dianggap karakteristik feminin – sehingga laki-laki dilaporkan lebih jarang untuk menemui psikolog atau psikiater.
Baca juga: Mengapa Pria Cari Pasangan Selingkuh? Ini 7 Kemungkinannya
Bahaya toxic masculinity bagi perempuan dan masyarakat
Toxic masculinity tidak hanya berbahaya bagi kaum pria. Masyarakat, terutama kaum wanita, juga menjadi korban perilaku maskulinitas yang beracun di atas.
Misalnya, beberapa pria menganggap dirinya superior dan lebih baik dibandingkan perempuan. Sebagian pria juga “diajarkan” untuk melakukan pelecehan dan kekerasan seksual.
Anggapan-anggapan di atas tak dipungkiri memicu kekerasan dalam rumah tangga hingga pelecehan seksual dan pemerkosaan.
Dikutip dari lembaga non-profit Do Something, 85% dari korban kekerasan dalam rumah tangga adalah perempuan. Kekerasan dalam rumah tangga juga menjadi penyebab utama cedera pada wanita.
Baca juga: Kekerasan Seksual, Siapa Paling Rentan Menjadi Korban?
Perilaku toxic masculinity di atas yang tidak terkendali juga dapat menimbulkan efek berikut ini:
Mencegah perilaku toxic masculinity pada anak
Salah satu cara untuk menghentikan siklus toxic masculinity adalah mengajarkan anak sejak dini, terutama anak laki-laki.
Berikut ini beberapa tips yang bisa kita coba di rumah untuk diajarkan pada Si Kecil:
Baca juga: Banyak yang Belum Tahu, Apa Saja yang Termasuk Pelecehan Seksual?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.