Dunia sedang dilanda euforia vaksin penangkal virus corona yang selama setahun penuh telah memporakporandakan segala aspek kehidupan manusia.
Sebagian orang Indonesia menaruh harapan tinggi, mengandaikan vaksinasi masal pemulih ekonomi.
Istilah ‘new normal’ atau adaptasi gaya hidup baru, nampaknya sama sekali tidak mempan buat negri ini, dimana rakyatnya punya ambisi dan mobilitas yang sama-sama tinggi.
Baca juga: Protokol Kesehatan: Antara Jargon dan Guyon
Cara hidup yang sudah berurat akar, budaya, dan irama kerja membuat publik tak sanggup menahan diri untuk tidak keluar rumah, tidak berkerumun, bahkan tidak ngobrol di saat makan.
“Di rumah saja” memberi konotasi tidak produktif. Memberi jarak fisik diandaikan menjauhkan diri dari pertemanan. Kediaman rupanya tidak dianggap tempat aman, malah melahirkan kesuntukan dan kejenuhan.
Protokol kesehatan akhirnya kendur, karena dianggap tidak memberi perubahan signifikan. Kian hari jumlah pertambahan kasus baru bukannya menurun, malah semakin tinggi.
Awam tidak mau tahu dan tidak mau mengerti – apakah karena jumlah pengecekannya semakin banyak maka semakin tinggi kasus terdeteksi – atau memang penularannya semakin menggila.
Ketika di negara-negara lain terjadi istilah ‘gelombang’ laju meningkat dan meredanya kasus, di Indonesia tak ada seorang pun yang bisa menebak grafik seperti apa yang kita miliki secara epidemiologis.
Dan di tengah polemik pendapat pakar, wacana vaksinasi muncul. Pejabat negara bahkan dengan penuh optimisme menyatakan pemulihan ekonomi dan kehidupan menjadi mungkin dengan menyegerakan program vaksinasi masal. Di bawah label aman BPOM, tentu saja.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.