Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 01/03/2022, 15:44 WIB
Gading Perkasa,
Wisnubrata

Tim Redaksi

Sumber Yahoo

Baik Chaudhary maupun Johnson menyebut, fenomena ini disebabkan oleh kecenderungan manusia untuk menyerap atau menerima emosi orang lain.

"Kita adalah makhluk yang energik. Jika seseorang di sekitar kita menunjukkan jenis energi tertentu, kita mungkin akan mengambil energi itu," kata Johnson.

"Jika kita menghabiskan waktu dengan teman yang sedang mengalami banyak hal dan merasa sedih, kita mungkin tidak lagi pergi bersama mereka karena merasa sangat berat atau sedih," tambah Chaudhary.

"Itu bukan berarti kita menangkap depresi mereka, tetapi kita terpengaruh oleh perasaan mereka. Itu sangat wajar, apalagi jika kita peduli dengan orang itu."

Patel-Dunn memperluas gagasan ini. Merasa melankolis setelah menghabiskan waktu bersama seseorang yang depresi adalah respons emosional tubuh untuk berempati dengan orang tersebut.

"Kita sebagai manusia ingin berempati dan mendukung teman dan orang yang kita cintai," cetus Patel-Dunn.

"Ada cara untuk mengenali ketika seseorang terluka secara fisik atau emosional. Tetapi merasa sedih untuk seseorang tidak berarti kita juga akan merasa tertekan."

Apabila kita menemani teman atau kerabat yang mengalami gangguan kesehatan mental dan menyadari masalah mereka bisa membuat kita tertekan, Chaduhary menyarankan beberapa langkah.

"Kita bisa membuat batasan antara diri kita dan teman yang mungkin memiliki gejala, atau menghubungi pakar untuk mendapatkan bantuan yang tepat," jelasnya.

Saat memutuskan untuk menjauh dari teman yang memiliki masalah kesehatan mental, Chaudhary menyarankan kita agar mengatakan secara jujur apa penyebab dibalik tindakan kita.

"Sangat penting untuk berkomunikasi secara terbuka tentang kesehatan mental, dan biasanya komunikasi terbuka membantu orang merasa lebih didukung," kata dia.

"Dalam situasi seperti ini, cobalah mengatakan 'saya tahu kamu benar-benar kesulitan. Ketahuilah saya sangat peduli denganmu dan saya ingin berbicara lebih banyak tentang ini, tetapi saya juga menghadapi kesulitan'," imbuhnya.

Baca juga: Bagaimana jika Teman Kita Memiliki Masalah Kesehatan Mental?

4. Depresi atau kecemasan bisa dikendalikan

"Masalah kesehatan mental adalah kondisi yang memerlukan dukungan dan perawatan nyata, dalam bentuk konseling atau rutinitas perawatan diri," ungkap Chaudhary.

"Terkadang gangguan seperti depresi atau kecemasan memengaruhi otak kita dengan cara yang tidak dapat ditangani oleh terapi saja."

"Dalam kasus tersebut, otak kita mungkin memerlukan obat untuk membantu mengembalikan fungsi ke awal sebelum sakit," sambung dia.

"Kondisi, genetika, dan cara kerja otak setiap orang sedikit berbeda, itulah sebabnya mengapa orang yang berbeda membutuhkan jenis perawatan berbeda pula."

Mereka yang berjuang dengan masalah kesehatan mental tidak memiliki kendali atas apa yang dialami, tambah Patel-Dunn.

Tindakan seperti terapi, berkumpul dengan orang terkasih atau menonton film favorit bisa meringankan gejala kesehatan mental, tetapi tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah.

"Tindakan itu dapat membantu, tetapi kita tidak memiliki kendali seperti saklar lampu yang mengatur emosi kita," tambah Patel-Dunn.

"Kita hanya memiliki kendali atas hal-hal yang dapat kita lakukan untuk membantu meringankan gejala itu."

Baca juga: Perbaiki Kesehatan Mental dengan Latihan Pernapasan, Bisa?

5. Orang dengan gangguan mental adalah orang gila

Stigma negatif terkait kesehatan mental seperti melabeli orang dengan gangguan mental sebagai orang gila akan menyebabkan orang tersebut enggan mencari bantuan.

Faktanya, memiliki gangguan mental bukan berarti ada yang salah pada diri kita.

"Ini adalah mitos di masyarakat yang dibuat dari generasi sebelumnya," kata Patel-Dunn.

"Otak adalah organ. Organ itu berarti bisa sakit, sama seperti kita memiliki masalah pada jantung atau paru-paru," imbuh Chaudhary.

"Kita perlu menganggap masalah kesehatan mental sama seperti masalah kesehatan fisik."

"Kita tidak menghakimi orang karena memiliki penyakit medis tertentu, tetapi terkadang kita secara tidak adil menghakimi orang lain karena memiliki gangguan mental," tuturnya.

"Sebagian besar penilaian itu datang dari stigma atau pemikiran bahwa penyakit jiwa itu memalukan."

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com