Maksudnya, penyebab mengapa orang dapat berkata-kata kasar tidak bisa memastikan bahwa mereka memiliki tingkat kecerdasan di atas rata-rata.
Dengan cara yang sama, tidak ada cukup bukti untuk menunjukkan hubungan sebab-akibat antara kata-kata kotor dan kekuatan otak.
Tak hanya itu, peneliti yang melakukan studi ini menggunakan konsep yang terlalu kompleks untuk ditentukan berdasarkan variabel tunggal.
Baca juga: Temuan Studi: Covid-19 Dapat Menurunkan Kecerdasan
"Korelasi tidak sama dengan sebab akibat, berarti Anda tidak dapat membuat kesimpulan tentang sebab dan akibat berdasarkan hubungan sederhana antara dua hal," kata Tworek.
"Saya pikir jika kita akan melakukan penilaian kecerdasan yang adil, Anda benar-benar membutuhkan neuropsikologi secara penuh."
Bisa dibilang, kebiasaan mengumpat sebenarnya tidak membuktikan kecerdasan orang, namun seberapa banyak kata yang mereka kuasai.
Ada berbagai literatur tentang manfaat mengumpat yang bersifat teoritis. Tapi, apakah kebiasaan ini memiliki manfaat?
Mengucapkan kata-kata tidak pantas ternyata berkorelasi positif dengan kejujuran dan integritas menurut tiga studi tahun 2017 yang berbeda.
Peneliti menemukan korelasi positif yang sama antara umpatan dan kreativitas seperti yang mereka temukan antara umpatan dan kecerdasan.
Dokter juga mengamati bahwa orang yang mengalami afasia (gangguan berkomunikasi) setelah stroke seringkali mempertahankan kemampuannya untuk mengumpat.
Di sini, ada banyak alasan yang mungkin terjadi.
Salah satu teorinya adalah mengumpat dan kata-kata kotor tersimpan di sisi kanan otak.
Orang biasanya menganggap sisi kanan otak sebagai sisi kreatif. Oleh karena itu, mengumpat menjadi salah satu tanda kreativitas.
Pada tahun 2009, Neuroreport sempat melakukan studi untuk mengetahui ambang batas nyeri dingin (cold-pressor pain threshold/CPT) terhadap responden.
Pada dasarnya, CPT adalah tes dengan cara memasukkan tangan ke dalam air sedingin es dan menahannya di dalam selama mungkin.