Seperti biasa, saya menulis di atas 11 ribu meter lebih dari permukaan laut, dalam perjalanan terbang kembali ke tanah air usai menghadiri International Congress of Nutrition di Tokyo yang mulai memasuki musim dingin menggigit.
Sekali pun bangga karena mendapat penghargaan dari presentasi abstrak saya, yang membahas Model Pemberdayaan untuk meningkatkan asupan sayur bagi penyandang Diabetes Mellitus dewasa, yang terbukti secara signifikan mengontrol kadar gula darah pada studi terkontrol acak, terselip rasa sedih dan frustrasi akan situasi asupan pangan bayi dan anak di negri sendiri.
Pada salah satu simposium Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam kongres tersebut, dibahas tentang agresifnya iklan industri yang mengubah ‘mindset’ orang (apalagi anak dan remaja), sehingga kampanye meningkatkan kesadaran dan literasi keluarga saja tidak lagi dirasa cukup.
Baca juga: Pangan Asli yang Terinvasi
Menggunakan selebrita, artis, bahkan nakes sebagai endorser yang ikut mempromosikan aneka dagangan yang disebut makanan dan minuman, sudah menjadi hal yang amat mengkhawatirkan.
Mengambil judul “Food marketing exposure and power and their associations with food-related attitudes, beliefs and behaviours”, WHO menyerukan, agar pemerintah perlu mengambil tindakan dalam bentuk kebijakan dan regulasi yang merupakan bagian dari perlindungan anak.
Ketimbang berdiam diri dan pelan-pelan kita menyaksikan malapetaka luar biasa di kemudian hari, DI MANA penyakit-penyakit kronik membebani Jaminan Kesehatan Nasional, serta kualitas sumber daya manusia itu sendiri.
Beberapa hari yang lalu di halaman depan tajuk utama Harian Kompas terpampang judul yang amat menyakitkan: “Separuh Lebih Penduduk Tak Mampu Makan Bergizi” – betapa ironinya, tanah air yang kaya begini, rakyatnya berisiko masuk ke jurang malnutrisi?
Lalu, apa pemahaman orang Indonesia tentang istilah pangan bergizi itu? Bagaimana kita menjustifikasi suatu asupan punya nilai gizi atau tidak?
Lalu bagaimana dengan para orangtua yang justru membiarkan anak-anaknya jajan dengan kepercayaan ‘agar tahan banting, makan terlalu sehat nanti dikit-dikit sakit,’ bahkan ada yang lebih percaya produk kemasan, karena di bungkusnya terpampang rayuan bombastis: mengandung kalsium! Kaya vitamin!
Yang paling menyedihkan jika ada nakes, yang justru menganjurkan para orangtua lebih percaya dengan bubur bayi kemasan karena ‘higienis, dan sudah tertakar gizinya’.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.