Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Bukan Makanannya yang Harus Diinovasi, tapi Cara Penyampaian Pesannya

Kompas.com - 31/01/2023, 17:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Begitu pula, penelitian terus bergulir. Senyawa-senyawa imbuhan yang tadinya dianggap aman, suatu hari bisa jadi akan dilarang, karena ternyata memberi dampak kesehatan serius.

Seperti halnya aneka penstabil (emulsifier) yang saat ini disorot, karena ternyata mempengaruhi keseimbangan bakteri usus manusia dengan segala akibatnya.

Konsumsi produk ultraproses di usia dini, sudah menjadi keprihatinan dunia dan banyak studi berkualitas yang memperingatkan kita akan bahaya malnutrisi baru.

Yang pasti, keluarga-keluarga dengan kebiasaan pola makan ‘praktis’ tidak akan mempunyai keterampilan memilih bahan, meracik, apalagi mengolah makanannya sendiri.

Ketergantungan akan semakin bertambah dengan bergulirnya waktu. Kemasan demi kemasan meningkat, hingga tanpa disadari ambang toleransi rasa manis asin dan gurih berubah.

Baca juga: Literasi Gizi Masa Kini: Kita Makin Berdaya atau Diperdaya?

Anak-anak yang terbiasa dengan rasa manis (bukan dari buah) akan menuntut semua kudapannya harus terasa manis.

Padahal, gula dan pemanis meningkatkan protein radang yang menurunkan fungsi kekebalan tubuh.

Gula darah tinggi juga menghambat respon sel darah putih untuk bereaksi terhadap radang.

Lebih mengerikan lagi, keseimbangan bakteri usus terganggu sehingga paparan terhadap infeksi lebih mudah terjadi.

Begitu pula bayi dalam masa stimulasi oromotor yang membutuhkan sensasi ‘kriuk’ apabila mulai diperkenalkan dengan kriuk-nya gorengan, akan mempunyai referensi dan preferensi rasa ‘enak’ makanan yang salah.

Padahal kriuk bisa didapatkan dari irisan ketimun, bengkuang, apel dan masih banyak lagi. Menambah asupan kalori pun bisa secara cerdas diperoleh tanpa perlu menggoreng. Nasi uduk dan bubur kacang hijau menggunakan santan yang amat kaya kalori.

Bahkan, WHO dan UNICEF secara khusus menggarisbawahi perlunya menghindari permen, coklat, aneka keripik kemasan, kentang goreng, kue-kue kering manis (Indicators for assessing infant and young child feeding practices, 2021).

Kembali ke pangan asal, bukan berarti kuno apalagi disebut kemunduran zaman. Justru kita perlu bangga, sebagai bangsa dengan aset aneka olahan dapur yang kaya, sehat, dan menjamin pertumbuhan optimal anak – apalagi ilmu gizi sudah bisa menelaah bahan-bahan pangan utuh yang bermanfaat dalam racikan suatu menu.

Melestarikan berbagai menu tradisional tidak perlu inovasi kebablasan. Sebab kearifannya justru terletak pada pemilihan bahan dan cara pengolahan.

Yang perlu diinovasi adalah cara edukasi yang mendongkrak literasi generasi, yang sudah terlanjur bablas dengan simpang siurnya informasi.

Iklan layanan masyarakat harus lebih progresif, ketimbang promosi produk kemasan yang mendorong masyarakat lebih konsumtif.

Kayanya hasil bumi dan laut kita, tidak boleh menjadikan pendapatan per kapita digunakan untuk menciptakan bonus demografi penuh derita.

Baca juga: Edukasi Gizi Tanpa Amunisi

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com