Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Bukan Makanannya yang Harus Diinovasi, tapi Cara Penyampaian Pesannya

Kompas.com - 31/01/2023, 17:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Di Indonesia sendiri, produk pangan industri menempati posisi tertinggi sebanyak 35.1% dari rata-rata konsumsi dan pengeluaran per kapita penduduk desa dan kota, menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2019.

Posisi kedua ditempati oleh rokok (12.3%) dan baru kelompok padi-padian (11.3%) di ranking ke tiga.

Potret mengenaskan ini, boleh dibilang merupakan hasil suksesnya perjuangan tanpa henti dari pemasaran produk jadi yang menguasai iklan media massa, media sosial, hingga tanpa sadar menjadi ‘pendukung’ aneka kegiatan pemerintah sekali pun hanya numpang logo di spanduk, panggung acara atau jinjingan oleh-oleh atau icip-icip yang merupakan iklan gratis paling ampuh.

Bahkan sekarang, terang-terangan menggunakan tenaga profesional kesehatan yang mau dibayar (entah jasanya atau kegiatannya) untuk mempengaruhi pilihan masyarakat.

Baca juga: Dari Rasa Menjadi Petaka

Bukan hanya merambah area konsumsi dewasa dan remaja, kini produk ultraproses semakin banyak ditemui dalam kemasan menarik untuk anak dan bayi, dengan berbagai kasta dan harga tentu saja.

Mengambil jargon higienis, sudah terukur dan tertakar nilai gizinya, para orangtua tersihir untuk meninggalkan panci dan dapur, serta dengan rasa lega menyambut bahagia era kepraktisan dengan cukup mengeluarkan uang membeli kemasan produk jadi yang tinggal diseduh, berharap anak-anaknya tumbuh sempurna.

Dengan persisi tekstur dan aneka rasa artifisial, proses mangap-suap-telan menjadi menyenangkan tanpa bayi lepeh apalagi ‘hoek’.

Begitu pula aneka kerupuk biskuit bayi yang lucu-lucu siap lumer di lidah. Cukup memberi sensasi kriuk yang menyenangkan di awal kunyahan.

Apabila pola konsumsi pangan publik kita dibutakan oleh sebatas angka-angka fantastis jumlah kalori, mineral, dan vitamin saja, maka kita sedang menciptakan robot-robot mengerikan yang tidak mengenal istilah pangan sehat. Hanya sekadar seimbang secara numerik.

Itu sebabnya WHO, UNICEF dan WHO menyisipkan kata ‘pangan sehat’, selain keseimbangan konsumsi nutrisi.

Baca juga: Pangan Keluarga, Cermin Kedaulatan Pangan Negara

Tidak banyak orang, bahkan nakes memahami apa yang menjadi kriteria pangan sehat itu. Sehat tidak boleh hanya diartikan sempit: tidak berisiko menimbulkan penyakit, alias bersih, aman atau higienis.

Dalam dokumen FAO yang telah disebutkan sebelumnya, proses industri mustahil tidak menggunakan ‘cosmetic food additives’ yang membuat tampilan produk menarik, dengan penggunaan imbuhan pewarna (sehingga bubur rasa bayam kelihatan hijau – padahal mustahil bayam yang telah diproses bisa tetap hijau), perasa (termasuk gula, garam) dan penstabil alias emulsifier, agar campuran bahan bisa menyatu tanpa kelihatan ‘pecah’.

Begitu kencangnya pembelaan tentang keamanan imbuhan-imbuhan di atas, hingga ada orang yang khusus membuat pernyataan keras, bahkan justru melecehkan olahan rumahan yang disebut lebih berisiko jorok, bahkan takarannya amburadul, khususnya untuk membuat pangan bayi.

Amat sangat sedikit nakes kita memahami secara objektif konsumsi jangka panjang dan dampak psiko-sosial ketergantungan produk pangan praktis -- mengandaikan jika produk telah mengantongi izin BPOM, maka publik aman jaya mengonsumsi mau sampai kapan pun.

Padahal di negara mana pun, Badan Pengawasan Makanan tidak bertanggungjawab atas batasan konsumsi, apalagi perkara imbas masalah kesehatan di masa yang akan datang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com