Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Bukan Makanannya yang Harus Diinovasi, tapi Cara Penyampaian Pesannya

Kompas.com - 31/01/2023, 17:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Belum lama ini Presiden Joko Widodo menyerukan, agar posyandu tidak lagi menjadi ajang bagi-bagi produk ultraproses termasuk bubur instan.

Tak tanggung-tanggung, kepala daerah diberi peringatan untuk melakukan pengawasan karena saat ini posyandu berada di bawah pengasuhan ibu-ibu PKK, dengan pembinaan oleh puskesmas setempat.

Posyandu seyogyanya merupakan upaya dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Sekalipun sebenarnya mendapat bantuan operasional bersumber dari APBD dan Dana desa, dan kader juga ada yang mendapat insentif, ‘hidup’nya Posyandu terutama ditopang oleh dana jimpitan masyarakat, artinya sumbangan sukarela.

Baca juga: Pangan Asli yang Terinvasi

Penggunaan dana ini tentunya bisa dimanfaatkan antara lain untuk Pemberian Makanan Tambahan (PMT), yang semestinya menjadi contoh bagi para orangtua untuk membuatnya sendiri di rumah, agar asupan gizi anak tertopang selain Makanan Pendamping ASI (MPASI).

Sayangnya, di banyak tempat saat ini posyandu mendapat sorotan keras dari masyarakat yang telah melek gizi, karena menjadi sarana bagi-bagi produk kemasan yang nilai gizinya jauh dari kata baik, bahkan ajang promosi susu formula.

Menjadi pertanyaan besar, seberapa kompeten para kadernya bicara soal (minimal) gizi sederhana yang mestinya menjadi panutan para ibu di komunitasnya?

Bubur kacang hijau yang jadi ikon posyandu, sudah lama digeser aneka kemasan ultraproses yang tinggi gula, garam, lemak, dan sama sekali bukan merupakan konsumsi balita apalagi bayi.

Organisasi Pangan dan Agrikultur Perserikatan Bangsa-Bangsa (Food and Agriculture Organisation/ FAO) pada tahun 2019 telah merilis dokumen yang berjudul: Pangan Ultraproses, Kualitas Pola Makan dan Kesehatan, menggunakan sistem kualifikasi NOVA yang membagi produk pangan menjadi 4 kategori, yakni:

1. Pangan utuh/ sgear atau yang diproses dengan amat minimal (dibekukan, ditumbuk secara tradisional)

2. Bahan masak yang diproses seperti bumbu dapur kering, gula aren, minyak kelapa,dan sebagainya

3. Produk terproses: yang diawetkan, difermentasi atau produk rumahan

4. Produk ultraproses: aneka makanan minuman yang dibuat oleh industri, yang tidak lagi ada bahan utuhnya, diproduksi besar-besaran dengan komersialisasi, mengambil untung, masa kadaluwarsa panjang dan berisiko menggantikan kelompok pangan utuh.

Sekali pun telah mendapat pengakuan dunia dan didukung banyak jurnal papan atas yang memaparkan aneka studi tentang risiko produk ultraproses, masih saja ada kritik bersliweran yang ‘menyerang’ klasifikasi ini.

Baca juga: Dari Stunting ke Teh Manis, Apakah Edukasi Kita Miskin Literasi?

Dalam studi mendalam yang dikerjakan Mialon dkk dari Universitas Sao Paulo Brazil, ditemukan 23 artikel yang menyerang klasifikasi NOVA, sebagian besar diterbitkan jurnal-jurnal tanpa kajian pakar.

Begitu pula dari 38 penulis artikel tersebut, 33 orang di antaranya mempunyai hubungan dengan industri produk ultraproses. Lima orang selebihnya ternyata sarjana baru lulus tanpa kejelasan institusi afiliasi.

Di Indonesia sendiri, produk pangan industri menempati posisi tertinggi sebanyak 35.1% dari rata-rata konsumsi dan pengeluaran per kapita penduduk desa dan kota, menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2019.

Posisi kedua ditempati oleh rokok (12.3%) dan baru kelompok padi-padian (11.3%) di ranking ke tiga.

Potret mengenaskan ini, boleh dibilang merupakan hasil suksesnya perjuangan tanpa henti dari pemasaran produk jadi yang menguasai iklan media massa, media sosial, hingga tanpa sadar menjadi ‘pendukung’ aneka kegiatan pemerintah sekali pun hanya numpang logo di spanduk, panggung acara atau jinjingan oleh-oleh atau icip-icip yang merupakan iklan gratis paling ampuh.

Bahkan sekarang, terang-terangan menggunakan tenaga profesional kesehatan yang mau dibayar (entah jasanya atau kegiatannya) untuk mempengaruhi pilihan masyarakat.

Baca juga: Dari Rasa Menjadi Petaka

Bukan hanya merambah area konsumsi dewasa dan remaja, kini produk ultraproses semakin banyak ditemui dalam kemasan menarik untuk anak dan bayi, dengan berbagai kasta dan harga tentu saja.

Mengambil jargon higienis, sudah terukur dan tertakar nilai gizinya, para orangtua tersihir untuk meninggalkan panci dan dapur, serta dengan rasa lega menyambut bahagia era kepraktisan dengan cukup mengeluarkan uang membeli kemasan produk jadi yang tinggal diseduh, berharap anak-anaknya tumbuh sempurna.

Dengan persisi tekstur dan aneka rasa artifisial, proses mangap-suap-telan menjadi menyenangkan tanpa bayi lepeh apalagi ‘hoek’.

Begitu pula aneka kerupuk biskuit bayi yang lucu-lucu siap lumer di lidah. Cukup memberi sensasi kriuk yang menyenangkan di awal kunyahan.

Apabila pola konsumsi pangan publik kita dibutakan oleh sebatas angka-angka fantastis jumlah kalori, mineral, dan vitamin saja, maka kita sedang menciptakan robot-robot mengerikan yang tidak mengenal istilah pangan sehat. Hanya sekadar seimbang secara numerik.

Itu sebabnya WHO, UNICEF dan WHO menyisipkan kata ‘pangan sehat’, selain keseimbangan konsumsi nutrisi.

Baca juga: Pangan Keluarga, Cermin Kedaulatan Pangan Negara

Tidak banyak orang, bahkan nakes memahami apa yang menjadi kriteria pangan sehat itu. Sehat tidak boleh hanya diartikan sempit: tidak berisiko menimbulkan penyakit, alias bersih, aman atau higienis.

Dalam dokumen FAO yang telah disebutkan sebelumnya, proses industri mustahil tidak menggunakan ‘cosmetic food additives’ yang membuat tampilan produk menarik, dengan penggunaan imbuhan pewarna (sehingga bubur rasa bayam kelihatan hijau – padahal mustahil bayam yang telah diproses bisa tetap hijau), perasa (termasuk gula, garam) dan penstabil alias emulsifier, agar campuran bahan bisa menyatu tanpa kelihatan ‘pecah’.

Begitu kencangnya pembelaan tentang keamanan imbuhan-imbuhan di atas, hingga ada orang yang khusus membuat pernyataan keras, bahkan justru melecehkan olahan rumahan yang disebut lebih berisiko jorok, bahkan takarannya amburadul, khususnya untuk membuat pangan bayi.

Amat sangat sedikit nakes kita memahami secara objektif konsumsi jangka panjang dan dampak psiko-sosial ketergantungan produk pangan praktis -- mengandaikan jika produk telah mengantongi izin BPOM, maka publik aman jaya mengonsumsi mau sampai kapan pun.

Padahal di negara mana pun, Badan Pengawasan Makanan tidak bertanggungjawab atas batasan konsumsi, apalagi perkara imbas masalah kesehatan di masa yang akan datang.

Begitu pula, penelitian terus bergulir. Senyawa-senyawa imbuhan yang tadinya dianggap aman, suatu hari bisa jadi akan dilarang, karena ternyata memberi dampak kesehatan serius.

Seperti halnya aneka penstabil (emulsifier) yang saat ini disorot, karena ternyata mempengaruhi keseimbangan bakteri usus manusia dengan segala akibatnya.

Konsumsi produk ultraproses di usia dini, sudah menjadi keprihatinan dunia dan banyak studi berkualitas yang memperingatkan kita akan bahaya malnutrisi baru.

Yang pasti, keluarga-keluarga dengan kebiasaan pola makan ‘praktis’ tidak akan mempunyai keterampilan memilih bahan, meracik, apalagi mengolah makanannya sendiri.

Ketergantungan akan semakin bertambah dengan bergulirnya waktu. Kemasan demi kemasan meningkat, hingga tanpa disadari ambang toleransi rasa manis asin dan gurih berubah.

Baca juga: Literasi Gizi Masa Kini: Kita Makin Berdaya atau Diperdaya?

Anak-anak yang terbiasa dengan rasa manis (bukan dari buah) akan menuntut semua kudapannya harus terasa manis.

Padahal, gula dan pemanis meningkatkan protein radang yang menurunkan fungsi kekebalan tubuh.

Gula darah tinggi juga menghambat respon sel darah putih untuk bereaksi terhadap radang.

Lebih mengerikan lagi, keseimbangan bakteri usus terganggu sehingga paparan terhadap infeksi lebih mudah terjadi.

Begitu pula bayi dalam masa stimulasi oromotor yang membutuhkan sensasi ‘kriuk’ apabila mulai diperkenalkan dengan kriuk-nya gorengan, akan mempunyai referensi dan preferensi rasa ‘enak’ makanan yang salah.

Padahal kriuk bisa didapatkan dari irisan ketimun, bengkuang, apel dan masih banyak lagi. Menambah asupan kalori pun bisa secara cerdas diperoleh tanpa perlu menggoreng. Nasi uduk dan bubur kacang hijau menggunakan santan yang amat kaya kalori.

Bahkan, WHO dan UNICEF secara khusus menggarisbawahi perlunya menghindari permen, coklat, aneka keripik kemasan, kentang goreng, kue-kue kering manis (Indicators for assessing infant and young child feeding practices, 2021).

Kembali ke pangan asal, bukan berarti kuno apalagi disebut kemunduran zaman. Justru kita perlu bangga, sebagai bangsa dengan aset aneka olahan dapur yang kaya, sehat, dan menjamin pertumbuhan optimal anak – apalagi ilmu gizi sudah bisa menelaah bahan-bahan pangan utuh yang bermanfaat dalam racikan suatu menu.

Melestarikan berbagai menu tradisional tidak perlu inovasi kebablasan. Sebab kearifannya justru terletak pada pemilihan bahan dan cara pengolahan.

Yang perlu diinovasi adalah cara edukasi yang mendongkrak literasi generasi, yang sudah terlanjur bablas dengan simpang siurnya informasi.

Iklan layanan masyarakat harus lebih progresif, ketimbang promosi produk kemasan yang mendorong masyarakat lebih konsumtif.

Kayanya hasil bumi dan laut kita, tidak boleh menjadikan pendapatan per kapita digunakan untuk menciptakan bonus demografi penuh derita.

Baca juga: Edukasi Gizi Tanpa Amunisi

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com