Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Menyusui dan MPASI: Esensi Tandem Pencegahan Stunting sejak Dini

Kompas.com - 07/08/2023, 07:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Awal bulan Agustus secara internasional diperingati sebagai Pekan Menyusui Dunia setiap tahunnya.

Menyusu adalah proses alamiah seorang anak memperoleh nutrisi pertama kalinya setelah dilahirkan.

Sayangnya, tidak semua orang paham bahwa proses ini harus dilindungi, dijaga keberlangsungannya, dan dipahami secara komprehensif tanpa dibenturkan dengan kondisi apa pun.

Termasuk perubahan situasi hidup manusia dari tahun ke tahun: saat ibu sudah tidak lagi berkutat dengan pekerjaan rumah, tapi juga dituntut bekerja di luar kediamannya seperti laki-laki.

Baca juga: Indonesia Krisis Konselor Laktasi dan Literasi Gizi

Dengan evolusi produk pengganti ASI, yang promosi dan objektivasinya sudah melewati batas bablas, cara pandang manusia terhadap proses menyusu ini direduksi, dipersempit tinggal sebatas nutrisi yang bisa dikalkulasi, dan dimanipulasi industri.

Bahkan, sudah ada percobaan ‘mengawetkan’ ASI mirip jadi susu bubuk yang (semoga jangan) suatu saat dijadikan komoditi baru -- dengan target pemasaran bagi ibu-ibu yang ‘ngebet’ ingin memberikan ASI, tapi sama sekali buta tentang cairan hidup yang ‘kebetulan’ berwujud seperti susu pada umumnya.

Bagi orang Indonesia, kenekatan komersialisasi ASI masih sebatas liarnya jual beli di ‘online shop’, yang menawarkan ASI beku yang tak jelas asal usulnya, secara bombastis disebut tahan hingga 12 bulan (padahal mustahil komposisinya masih baik).

Padahal, ASI adalah cairan hidup yang komposisinya tidak sama, sehingga mustahil juga diberi kepada bayi dengan rentang usia yang tidak sama. Ditambah lagi, kemasan plastik yang berkontribusi pencemaran mikroplastik ke dalam ASI itu sendiri.

Di rumpun pendidikan kesehatan, calon-calon tenaga kesehatan juga tidak pernah mendapat kurikulum yang membahas soal air susu ibu dan proses menyusui secara mendalam.

Padahal, ini adalah rangkaian fungsi fisiologis makhluk hidup untuk bisa tumbuh kembang secara optimal.

Dimulai dengan cara yang benar, terdampingi, termonitor dengan pertambahan berat dan panjang badan optimal sebelum bayi masuk dalam proses makan sesungguhnya.

Itu pun menjadi proses estafet dari ‘menyusu saja’ hingga ‘makan saja’, mulai dari rentang usia 6 bulan hingga 24 bulan.

Sayangnya, pencegahan stunting hampir tidak menyinggung soal proses menyusu ini. Bahkan sabotasenya makin banyak.

Lebih mengerikan lagi, donasi sana sini membuat bayi-bayi yang semestinya masih harus menyusu dan mendapat antibodi dari ASI malah beralih ke susu formula, menjadi diare dan semakin sering sakit.

Baca juga: Kadus, Kapuskes, dan Ketua TP PKK, Pahlawan Sejati Pencegahan Stunting

Miskinnya pemahaman tentang proses menyusu dan Air Susu Ibu (yang tidak sama dengan susu kardus), menjadikan cakupan ASI eksklusif melorot dari 69.7% di tahun 2021 menjadi 67.96% pada tahun 2022 menurut data UNICEF Indonesia.

Lebih menyedihkan lagi, hanya kurang dari separuh bayi di bawah usia 6 bulan yang mendapatkan ASI secara eksklusif tanpa tambahan asupan lain.

Untuk bisa menyusui dengan benar, seorang ibu perlu mendapat dukungan – bukan godaan, mulai dari iklan bombastis ‘susu yang menambah tinggi’, susu yang membuat anaknya gemuk hingga susu mencegah stunting.

Ada juga rayuan para endorser yang memang dibayar untuk memengaruhi pilihan orangtua.

Selipan iklan susu dan sliweran promosi terselubung, yang membayar para ibu-ibu muda juga masuk ke jejaring media sosial tanpa ampun. Yang dipantau juga oleh para nenek masa kini. Hal yang mustahil ada 10-20 tahun silam.

Baca juga: Susu sebagai Protein Hewani, Promosi Kemewahan dengan Risiko Mengintai

Masalah Makan

Jendela stunting pun terbuka lebar lagi saat anak sudah mulai mendapat makanan padat. Anjuran berlebihan tentang tertakar dan terukurnya produk kemasan semakin membuat minder para ibu.

Padahal, produk-produk tersebut banyak kastanya. Pernah ada seorang ibu yang berpikir, bubur kemasan rasa pisang katanya bisa bikin anaknya sehat seperti kata iklan, lupa bahwa dalam produk itu diimbuhkan premiks mineral termasuk zat besi.

Saat sang ibu tak mampu beli, maka dia buatlah bubur nasi campur pisang sendiri. Dan anaknya tidak tumbuh optimal.

Kebebasan berpendapat dan ‘berkreasi’, sekaligus promosi di dunia maya semakin menakutkan.

Apalagi, verifikasi data para orangtua masa kini bukan lagi berasal dari bacaan bermutu atau akun kredibel.

Baca juga: Dari Stunting ke Teh Manis, Apakah Edukasi Kita Miskin Literasi?

Bahkan, membaca panduan nasional buku KIA yang dibagi gratis saat pemeriksaan kehamilan pun masih kesulitan. Masih butuh penegasan takaran bahan makanan yang ada, sebagai contoh buat sekali makan atau buat sehari penuh.

Saat anak kesulitan makan, karena salah tekstur atau terlalu banyak menyusu, kiblat seorang ibu muda kembali ke media sosial yang menawarkan aneka bumbu masak bayi. Vitamin. Mineral khusus.

Hingga saat berat badan sudah menyentuk kurva merah di grafik tumbuh kembang, para ibu menyerbu ‘susu tinggi kalori’, seperti yang (katanya) diajarkan beberapa ibu lain dengan kasus serupa.

Sama sekali tidak pernah mengevaluasi penyebab berat badan seret dan tinggi badan tidak bertambah.

Apabila keluarga besar campur tangan, lebih ricuh lagi. Anak disapih dari ibunya sebelum
usia 2 tahun, diberi jajanan warung (yang penting asal anaknya makan) dan katanya: biar kebal tidak mudah sakit.

Kelompok lain yang lebih ekstrem: anak tidak makan dianggap tak mengapa, selama masih mau menyusu dengan ibunya.

Ada lagi anak sudah lebih dari 1 tahun, tidak divaksinasi, karena (katanya) antibodi ibu ampuh sudah menjadi anugerah Sang Pencipta.

Faktanya, ASI tidak mengandung antibodi spesifik terhadap beberapa penyakit spesifik yang hanya bisa dicegah dengan vaksinasi yang spesifik juga.

Tidak jarang, sabotase terhadap vaksinasi justru heboh di media sosial berasal dari oknum-oknum berpengaruh.

Baca juga: Saatnya Benahi, Sehat Sesuai Studi Berbasis Bukti atau Jurus Testimoni?

Bangsa kita tidak miskin. Pun ilmu tidak kurang-kurang amat. Masalah besar muncul ketika ilmu sekadar buat tahu, tidak pernah jadi perilaku.

Dan tidak selamanya membesarkan seorang anak berada di perjalanan mulus tanpa gangguan. Saat anak sudah siap belajar makan, tapi ibunya masih menyuapi terus.

Saat anak sakit dan menjadi trauma makan, karena dicekok dan dipaksa. Saat anak tumbuh gigi atau sariawan, sang ibu tidak paham bagaimana mengatasi kesulitan makannya.

Saat anak membutuhkan ayah sebagai panutan dan contoh makan, tapi mereka malah makan sendiri-sendiri.

Yang lebih sering justru anak kerap diasumsikan seperti dewasa mini. Jadilah produk-produk kemasan anak yang dianggap membuat anaknya mau makan, karena diberi ‘jajanan mirip orang dewasa’. Hal yang mustahil diproduksi di negara maju.

Mencegah dan menanggulangi stunting, tidak bisa semata-mata mengubah masyarakat ramai-ramai jadi sinterklas dadakan, tanpa memahami duduk perkara penyebabnya.

Baca juga: Mengapa ASI Penting Untuk Mencegah Stunting?

Alhasil di beberapa daerah justru pemberian makanan tambahan tidak berhasil, karena anak menolak makan. Begitu pula pemberdayaan masyarakat tidak berjalan. Sebab, orang tua menjadi ‘masuk zona nyaman baru’: anaknya ada yang beri makan.

Begitu program selesai, kembali lagi masalah yang sama. Kali ini menimpa anak berikutnya. Atau anak yang sama, kembali jajan warungan dan giginya karies, diare, batuk pilek, karena pola asuh yang salah.

Sementara sang ayah serta kakeknya masih asyik merokok. Jamban keluarga masih amburadul. Sarana air bersih amat memprihatinkan.

Literasi gizi keluarga harus dimulai di segala lini. Termasuk kelompok masyarakat yang telah ‘mapan’.

Dengan demikian, semua stake holders maupun para pengusaha yang ingin berkontribusi, tidak menggunakan isu stunting justru sebagai sarana promosi dagangannya. Tapi, sungguh-sungguh mencabut masalah dari akar-akarnya.

Baca juga: Stunting atau Wasting? Salah Asumsi Berakhir Ngeri

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com