Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Promosi Kesehatan: Iklan Layanan Masyarakat yang Ketinggalan

Kompas.com - 21/08/2023, 08:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Beberapa hari ini saya melakukan ‘uji coba’ dengan mengangkat isu vaksinasi balita ke media sosial.

Sengaja saya kerjaan di masa cuti seminggu – dengan perkiraan mendedikasikan waktu sepenuhnya untuk menjawab semua komentar dan pesan langsung di akun saya.

Benar saja. Baru beberapa menit diunggah, bagai membuka kotak pandora berisi ulat menggeliat keluar tanpa terbendung.

Berupaya tegak dengan visi mengedukasi, serta meluruskan aneka penolakan, membuahkan beberapa pemikiran yang barangkali bisa menjadi umpan balik cara kita melakukan diseminasi informasi kesehatan.

Baca juga: Saatnya Benahi, Sehat Sesuai Studi Berbasis Bukti atau Jurus Testimoni?

Pertama. Masyarakat kita khususnya yang di perkampungan dan pelosok, masih belum paham demam karena sakit dan demam yang merupakan reaksi tubuh membuat antibodi spesifik terhadap antigen virus/kuman, yang sengaja dipaparkan dalam bentuk vaksin.

Di tengah ketidaktahuan ini, publik diguyur minyak panas bernama hoaks dan narasi-narasi seputar vaksinasi oleh orang-orang yang berasal dari pelbagai kalangan.

Mulai dari kalangan berpendidikan (dari berbagai keilmuan termasuk kesehatan), kalangan pejabat tinggi (yang mengutip cuplikan istilah dan mengaitkannya dengan kekeliruan berpikir) hingga rakyat biasa yang sehari-hari mungkin hanya pekerja biasa atau anak muda yang masih menganggur yang menggunakan gawai untuk membaca sekilas, mencaplok sensasi berita, menjadi pengikut (atau bahkan sebagai pelaku utama) penyebar narasi ilmu cucokologi, yang lebih parahnya lagi dikaitkan dengan kaidah- kaidah religi.

Mereka semua menyukai informasi yang menjadi sensasi. Bahkan, mendapat pengakuan dari para pengikut yang asal manggut-manggut.

Baca juga: Menyusui dan MPASI: Esensi Tandem Pencegahan Stunting sejak Dini

Ada beberapa akun yang akhirnya hilang mendadak setelah ‘gorengan’nya saya sambut, bahkan saya publikasi sekalian.

Pemilik akun di mata awam kelihatan ‘keren’ dengan menyitir kata-kata berbau ilmiah, bahkan menantang perdebatan.

Hingga di ujung debat mulai mengecam saya sebagai ‘sales vaksin’. Saat istilah-istilah ilmiah itu dibenturkan dengan urutan berpikir sesungguhnya, mulailah kalimat vandalisme khas media sosial Indonesia muncul. Menyerang dan provokatif.

Hal yang membuat ‘malas’ para nakes, karena merasa ‘kesehatan mentalnya bisa terganggu’, sehingga ogah meladeni.

Padahal, pembicaraan dalam kolom komentar semestinya ‘dirancang’, bukan ditujukan sebagai ajang debat dengan pelaku vandalismenya, tapi bagi publik yang mengikuti.

Benar saja. Semakin banyak orang yang ikut berani bicara kebenaran. Bahkan para ibu yang tadinya ‘diam’ dan ‘takut’ diserang, ikut dalam komentar-komentar tanpa gentar.

Baca juga: Urgensi Pendidikan Gizi Keluarga di Sekolah

Kedua. Promosi kesehatan kita masih sebatas mendorong orang mengambil tindakan pro aktif, seperti apa yang kita kehendaki.

Mulai dari minum tablet tambah darah, obat cacing hingga vaksinasi.

Hampir tidak pernah secara terbuka kita sampaikan kemungkinan ‘perubahan kebiasaan’ yang bisa terjadi, seperti buang air kehitaman akibat sisa zat besi pada suplementasi, kemungkinan rasa mual, bahkan yang lebih dimungkinkan: Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI).

KIPI dipahami awam lebih sebagai efek samping vaksinasi yang mengerikan. Padahal, KIPI bisa bersinggungan dengan berbagai hal, termasuk kejadian ko-insidental.

Saya bersyukur, ada ibu yang ikut memberi pengalamannya saat anak mengalami muntaber berat hingga perlu dirawat – yang tadinya dianggap KIPI, tapi setelah diusut bayi di usia 4 bulan itu sebelum vaksinasi diberi pisang oleh neneknya.

Begitu pula riwayat kejang demam yang muncul bersamaan dengan masa vaksinasi. Pelaporan KIPI diakui masih belum ditindaklanjuti sebagai urgensi – baik dari sisi pelapor maupun yang menerima laporan.

Biasanya, menjadi fokus perhatian setelah kejadiannya viral di media massa – dan apabila ini terjadi, sudah terlanjur menjadi isu gorengan yang amat renyah dengan aneka bumbu narasi yang memanfaatkan situasi.

Baca juga: Evaluasi Gaya Klinisi di Ranah Edukasi

Ketiga. Akses mengunduh informasi amat mudah dan begitu gampangnya aplikasi media sosial digunakan sebagai penyebar aneka penggalan berita, wawancara, hingga artikel jurnal kesehatan yang ‘dipelintir’.

Bahkan jika perlu dilengkapi dengan menyebut nama petinggi, profesor ini itu yang semakin menunjang pernyataannya.

KIPI (atau bukan KIPI) yang terjadi pasca tindakan vaksinasi, menyisakan trauma mengerikan – dengan proses yang amat sulit diterima orangtua yang sudah terlanjur marah, kecewa, dan amat ketakutan akan masa depan anaknya.

KIPI menjadi pekerjaan rumah besar bagi para ilmuwan untuk meluruskan fakta dengan data, serta studi berbasis bukti.

Sama seperti tudingan vaksinasi MMR sebagai penyebab autism, yang amat menggegerkan dunia.

Penuduhnya, Andre Wakefield meluncurkan teori peradangan pada usus, sehingga protein yang seharusnya tidak berada di aliran darah bisa masuk dan mengalir sampai ke otak, di mana protein ini menyebabkan gangguan perkembangan.

Namun, dokter Andrew tidak mampu saat diminta untuk mengulangi kembali penelitiannya agar didapat hasil yang valid, hingga akhirnya seorang jurnalis inggris, Brian Deer, membuka fakta-fakta pemalsuan dan kesalahan dalam penelitian itu.

Terungkap pula bahwa institusi yang menaungi dr. Andrew, Royal Free Hospital and Medical School, mendukung tindakan dokter tersebut agar mendapatkan keuntungan finansial dari hasil tuntutan kepada produsen vaksin, yang berdasar atas keluhan autisme pada anak yang menerima imunisasi MMR.

Walapun izin praktik dan kredensial akademik dokter Andrew sudah dicabut, publikasi awalnya di jurnal kedokteran bergengsi Lancet pada tahun 1998 sudah keburu beredar dan dikutip banyak orang sebagai pembenaran menolak vaksinasi.

Baca juga: Konten Media Sosial Penuh Sensasi, Miskin Esensi?

4 Cara Mencegah Campak pada Anak, Orangtua Perlu TahuShutterstock/airdone 4 Cara Mencegah Campak pada Anak, Orangtua Perlu Tahu

Keempat. Dengan berbagai masalah kesehatan termasuk KIPI, yang tidak mendapat penjelasan secara gamblang dan bisa dipahami awam, membuat masyarakat banyak yang berusaha mencari tahu sendiri.

Mereka merambah aneka jurnal kesehatan tanpa keterampilan memilah dan akhirnya menemukan senjata untuk membentuk pendapat dan kesimpulannya sendiri, yang kerap kita sebut ‘narasi konspirasi’.

Begitu pula saat layanan kesehatan tidak sesuai harapan, mahzab “kembali ke pengobatan alami” dengan segala pemahamannya dimulai.

Sementara di masa pendidikan, nakes kita tidak dibekali sejarah perkembangan dua cara pandang yang kerap dibenturkan secara ekstrem.

Saat Louis Pasteur dikenal para nakes sebagai pahlawan vaksin di abad 19, dia jarang disebut sebagai penggagas teori “Germ” – bahwa penyakit berasal dari infeksi mikroba, kuman.

Antitesis Pasteur adalah teori “Terrain” (medan) yang disebut Claude Bernard, sahabat karib Pasteur sendiri.

Turunan teori kuman Pasteur membuat nakes lebih fokus pada pengobatan, melawan penyakit dengan medikasi dan imunisasi.

Sementara teori medan Bernard, mengandaikan masalah kesehatan muncul akibat lemahnya sistem kekebalan yang diatasi dengan perbaikan gizi, penggunaan herbal (yang lebih ramah lingkungan dan tubuh), pendekatan psikis, sehingga terjadi revitalisasi organ dan sistemnya.

Tapi, karena penjelasannya terlalu rumit dan mempunyai pendekatan keilmuan yang berbeda, serta minimnya studi berbasis bukti, maka teori medan ini dengan mudah tergelincir menjadi pseudosains.

Dengan mengandalkan testimoni, dan mudah disusupi aneka paham keyakinan, akhirnya menjadi bulan-bulanan penganut ‘mainstream’ garis keras teori kuman Pasteur.

Baca juga: Berburu Kiat Sehat Tanpa Obat

Kelima. Konvergensi kedua teori di atas sebetulnya dikenal sebagai 4 pilar upaya kesehatan, yakni preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif.

Hanya saja, bicara ‘berobat’ di negeri ini, fokusnya tentu ada di aspek kuratif. Apalagi di poliklinik yang pasiennya antre.

Belum lagi saking lelahnya bekerja, tenaga kesehatan kita jutek dan judes. Menjelaskan soal gaya hidup dan perbaikan gizi pun dengan waktu yang amat terbatas, yang akhirnya pasien hanya diminta patuh ketimbang paham.

Revitalisasi organ yang mestinya bisa berjalan seiring dengan pengobatan, akhirnya menjadi mustahil, karena pasien cenderung merasa nyaman berobat ketimbang memperbaiki gaya hidup secara konsisten dan telaten.

Di beberapa daerah, peran tenaga kesehatan tradisional dan tenaga kesehatan dengan kompetensi herbal sudah mulai ditempatkan – namun apabila pendekatannya juga kuratif, maka ini sama saja seperti mengganti tablet dengan jamu. Ibarat penganut teori kuman Pasteur dengan jubah tradisional.

Baca juga: Belajar dari Vaksinasi BCG: Tak Ada Satu Jurus Jitu Buat Sehat

Semua hal di atas menjadi masalah besar, akibat promosi kesehatan yang masih berputar-putar dengan jargon dan kampanye, tanpa melibatkan nalar dan literasi.

Iklan layanan kesehatan amat miskin dengan bobot pemahaman, hanya ramai pernik slogan – yang bisa ditunggangi iklan komersial. Dan akhirnya memang iklan komersial yang muncul.

Konsep Isi Piringku juga dipakai jualan bumbu penyedap dan aneka kecap. Padahal, Isi Piringku bisa menyehatkan, karena dibangun dari bahan pangan utuh yang diolah dengan bumbu dapur tradisional sederhana dan minim prosesan.

Bukan nasi goreng kecap dengan lauk gorengan nugget, disandingkan buah dalam rupa jus dan sayur diguyur mayones.

Menuju Indonesia emas 2045, kita masih punya banyak waktu untuk berbenah ketimbang berkutat dengan cara yang itu-itu lagi.

Rakyat membutuhkan pencerahan, penyelesaian permasalahan, dan informasi layanan masyarakat yang bisa menjadi panutan, agar tidak perlu lagi mencari aneka keajaiban seperti iklan yang bertaburan menjanjikan solusi instan.

Baca juga: Ketika Bukan Orang Kesehatan Bicara soal Kesehatan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

7 Macam Love Language dan Artinya, Kamu yang Mana? 

7 Macam Love Language dan Artinya, Kamu yang Mana? 

Feel Good
6 Cara Memakai Gua Sha agar Manfaatnya Maksimal

6 Cara Memakai Gua Sha agar Manfaatnya Maksimal

Look Good
Pijat Wajah dengan Gua Sha, Waspadai Risiko Ini

Pijat Wajah dengan Gua Sha, Waspadai Risiko Ini

Look Good
Berapa Kali Sehari Menggunakan Gua Sha?

Berapa Kali Sehari Menggunakan Gua Sha?

Look Good
Apa Itu Love Language?

Apa Itu Love Language?

Feel Good
Apakah Gua Sha Bisa Meniruskan Pipi?

Apakah Gua Sha Bisa Meniruskan Pipi?

Look Good
Kini Ada Pisau Lipat Swiss Army Tanpa Mata Pisau, Kenapa?

Kini Ada Pisau Lipat Swiss Army Tanpa Mata Pisau, Kenapa?

Look Good
Ketika Gaya Kampus Mengubah Cara Orang Berpakaian

Ketika Gaya Kampus Mengubah Cara Orang Berpakaian

Look Good
6 Cara Mencukur Bulu Ketiak yang Benar agar Tak Iritasi 

6 Cara Mencukur Bulu Ketiak yang Benar agar Tak Iritasi 

Look Good
4 Cara Membuat Masker Kopi untuk Wajah Sesuai Kondisi Kulit

4 Cara Membuat Masker Kopi untuk Wajah Sesuai Kondisi Kulit

Look Good
3 Tips Merawat Rambut Bercabang, Rutin Gunting Ujung Rambut

3 Tips Merawat Rambut Bercabang, Rutin Gunting Ujung Rambut

Look Good
5 Cara Menghilangkan Bulu Ketiak Secara Alami 

5 Cara Menghilangkan Bulu Ketiak Secara Alami 

Look Good
Apakah Kopi Dapat Menghilangkan Bulu Ketiak? 

Apakah Kopi Dapat Menghilangkan Bulu Ketiak? 

Feel Good
6 Tips Menghindari Rambut Rontok Saat Tidur

6 Tips Menghindari Rambut Rontok Saat Tidur

Look Good
Kunyit Bisa Menghilangkan Bulu Ketiak, Simak Caranya 

Kunyit Bisa Menghilangkan Bulu Ketiak, Simak Caranya 

Look Good
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com