Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Kanker, Penyakit Angker yang Masih Bikin Keder

Kompas.com - 31/03/2024, 10:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Belum lama dunia kembali geger dengan berita Kate Middleton yang menghilang dari dunia selebrita ternyata mengidap kanker perut, yang hingga kini belum diklarifikasi jenis dan lokasi kankernya.

Tak ayal spekulasi bermunculan, termasuk pertanyaan ‘nyleneh’, seakan komunitas bangsawan yang terberkati dengan aneka pangan sehat dan gaya hidup terjaga apik, minimal bisa melalui masa sepuh seperti mendiang nenek suaminya.

Sejauh ini, kita mengenal kanker sebagai kumpulan sel ‘liar’ yang tidak punya tujuan khusus. Berkembang pesat menginvasi dan merusak jaringan sekitar secara progresif, hingga mengelana ke tempat lebih jauh (dikenal sebagai metastase), melumpuhkan aneka sistem kebertubuhan induk semangnya.

Ditanya soal penyebab, hingga saat ini para pakar masih berupaya menarik benang merahnya – untuk minimal dapat mencegah sebelum kejadian.

Baca juga: Seliweran Tontonan Kekinian soal Gizi, Saatnya Nalar Perlu Diajar

Faktor internal dan faktor eksternal

Dalam ilmu kesehatan dan kedokteran saat ini, penyakit bisa disebabkan karena faktor internal (yang berasal dari tubuh sendiri) dan eksternal (dari luar tubuh).

Begitu pula kita mengenal ada hal-hal yang tidak bisa kendalikan, tak terelakkan: faktor jenis kelamin, usia, hingga genetik.

Namun, ada hal-hal yang sebetulnya bisa dimodifikasi dan dikendalikan, yakni pola makan, gaya hidup, paparan terhadap zat berbahaya atau kondisi lingkungan pemukiman, pengaruh ekosistem, hingga perilaku alias kebiasaan.

Dimulai dari kulit sebagai organ terluar terluas tubuh manusia: warna kulit sawo matang jelas-jelas mempunyai melanosit (sel pigmen warna kulit/ melanin) yang membuat kita lebih tahan terhadap paparan sinar matahari, sebab kita berasal dari belahan bumi yang beriklim tropis.

Sangat berbeda dengan mereka yang hidup di negara 4 musim dengan kulit lebih putih dan lebih berisiko terkena kanker kulit.

Jadi, kita sebagai orang Indonesia mestinya bersyukur dengan bawaan genetik kulit lebih gelap – tapi anehnya kulit ‘cerah’ putih jika perlu bening seperti kaca, lebih disukai berkat hipnosis artis-artis K-pop.

Sebab itu, semakin banyak orang Indonesia berisiko kanker kulit dan punya ketergantungan tinggi akan tabir surya (maaf kalimat ini jangan diasumsikan “kita tidak butuh tabir surya”).

Kerusakan atmosfer sehigga terbentuknya lubang ozon, juga menjadi kontributor sinar matahari bablas tanpa penahan merusak kulit manusia.

Tanpa disadari, ulah manusia juga yang tidak peduli lingkungan menjadi penyebab lubang ozon tersebut.

Di abad ini, produk perawatan kulit dan kosmetika juga menjadi salah satu faktor risiko penentu terjadinya kanker kulit.

Baca juga: Kemewahan Pangan Lokal untuk Wisatawan, Sementara Balita Makan Kemasan

Tawaran menggiurkan iklan-iklan dan para endorser produk yang tidak bertanggungjawab, membuat konsumen buta pentingnya memahami komposisi dan senyawa yang digunakan, termasuk kebenaran label dan fakta isi produk yang dijual.

Kanker sel otak, sebutlah dari kelompok sel glioma – merupakan keganasan yang mempunyai aspek diturunkan (herediter) dan faktor usia (biasanya di atas 50 tahun), tapi juga akibat lain seperti paparan radiasi.

Keganasan pada otak juga kerap merupakan penyebaran atau metastase dari sumber kanker di organ lain.

Kanker nasofarings -- bagian dari saluran napas yang kerap gejalanya dianggap remeh, selain faktor genetik atau keturunan bisa dianggap bagian dari risiko, pengaruh gaya hidup sudah terbukti sebagai latar belakang terjadinya kanker ini.

Sebut saja merokok, minum minuman keras, dan konsumsi produk pangan yang diawetkan atau diasinkan.

Budaya yang tidak disadari seperti kebiasaan makan ikan asin, telur asin atau daging asap yang sudah dimulai sejak masa kanak-kanak, membuat edukasi menjadi sulit – apalagi kanker bukanlah model penyakit yang langsung kelihatan gejalanya, seperti keracunan makanan akut.

Baca juga: Promosi Kesehatan: Iklan Layanan Masyarakat yang Ketinggalan

Mutasi gen

Beberapa kanker yang sudah dapat diprediksi secara genetik antara lain kanker payudara dan indung telur, kanker usus, kerongkongan, lambung, dan retinoblastoma pada anak.

Kata kuncinya adalah: mutasi gen. Di mana gen adalah pembawa sifat yang diturunkan, yang terdapat dalam kromosom dari sel.

Sel melakukan pembelahan untuk memperbanyak diri. Pada saat proses pembelahan diri, tentu gen harus ‘di-copy’ agar sel baru mempunyai karakter yang sama persis.

Kadang terdapat kesalahan dalam proses ‘copy’ tersebut, sehingga mutasi gen terjadi. Inilah awal dari segala keruwetan kanker berasal, jika tertuduhnya adalah faktor genetik.

Mutasi pada gen BRCA 1 dan 2, berakibat pada risiko kanker payudara dan indung telur. Itu sebabnya, di negara maju ada pilihan untuk pengangkatan payudara dan indung telur apabila seorang perempuan melakukan skrining genetik.

Begitu pula teknologi sudah bisa mendeteksi adanya HER2 (Human Epidermal growth factor Receptor 2), yakni gen dan protein yang mendorong pertumbuhan sel di permukaan.

‘Kelebihan kerja’ HER2 alias HER2 positif, menandakan terjadinya mutase di situ dan menyebabkan sel kanker berkembang. Beberapa kanker payudara, kerongkongan, dan lambung terdeteksi HER2 positif.

Baca juga: Urgensi Pendidikan Gizi Keluarga di Sekolah

Gen lain bernama MUTYH (mutY DNA glikosilase) bertindak sebagai ‘tukang repair/ perbaikan’ untuk kerusakan DNA oksidatif – yang wajar terjadi selagi kita hidup dan akibat metabolisme sehari-hari.

Mutasi pada gen ini menyebabkan risiko kanker usus besar, rectum, dan polip usus. Jika mau diuraikan detil, masih banyak lagi mutasi yang terjadi pada gen yang akhirnya bisa menjelaskan risiko kanker di masa depan.

Begitu juga bila terbentuk ‘kromosom asing’ (disebut kromosom Philadephia) akibat patahan kromosom nomer 9 dan 22 saling bertukar tempat – hal ini ditemukan pada 95% penderita leukemia myelogenous kronik dan 25% penderita leukemia limfositik akut dewasa.

Kenapa mutasi gen? Hingga kini ilmuwan masih berkutat soal tertuduh bernama virus dan kemungkinan radiasi sebagai faktor penyela, yang lebih mudah dibuktikan saat sel membelah diri dan transkrip DNA terjadi.

Namun studi tentang gaya hidup dan pola makan, sudah mulai memberi banyak titik terang.

Yang paling sering disebut tentunya merokok termasuk penggunaan vape, konsumsi alkohol, makanan berpengawet – sekali pun diolah secara ‘tradisional’ seperti telur asin, ikan asin, daging asap dan masih banyak lagi daging olahan.

Belakangan ini obesitas juga mendapat sorotan tajam. Obesitas bukan hanya berkaitan dengan jumlah pangan berlebihan, tapi juga kualitas konsumsinya.

Gaya hidup dan pola makan berkaitan dengan risiko terjadinya kanker, baik langsung maupun tidak langsung.

Melalui perjalanan panjang yang cukup lama, membuat manusia terbuai dan mudah menyangkal – bahkan masih banyak tenaga kesehatan kita yang ikut menyangkal.

Akibatnya, kanker di negara yang masih ‘memperbolehkan’ apa saja buat dimakan dan dijadikan gaya hidup, menjadi sulit dikendalikan. Anehnya, aneka jajanan dan gorengan jadi musuh jika sudah sakit.

Belum lagi, jika angka kesakitan dan kematiannya makin meledak, bukan hanya jaminan kesehatan nasional tumbang, upaya pencegahannya juga kian menguras tenaga. Sebab ini, semua sudah di depan mata.

Baca juga: Program Makan di Sekolah, Apa Gizi Keluarga Sudah Dibenahi?

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com