Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

"Daily Dose of Sunshine": Mengenal Serangan Panik dan Cara Mengatasinya

Kompas.com - 06/04/2024, 08:54 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Hasil dari penelitian Ramachandran, Wardani, dan Setyawati (2019) menunjukkan bahwa 12 persen mahasiswa bebas dari gangguan panik, 51persen mahasiswa mengalami gangguan panik ringan, dan 37 persen mahasiswa mengalami gangguan panik moderat.

Penelitian ini dilakukan terhadap 89 mahasiswa kedokteran semester 7 Universitas Udayana Bali yang terdiri dari 36 persen mahasiswa laki-laki dan 64 persen mahasiswa perempuan.

Penelitian ini menunjukkan bahwa di Indonesia pun sudah ada kasus gangguan serangan panik.

Apakah serangan panik?

Dilansir dari APA Dictionary of Psychology (2018), serangan panik merupakan salah satu gangguan kecemasan yang ditandai dengan munculnya perasaan khawatir secara tiba-tiba dan ketakutan yang intens tanpa adanya bahaya yang nyata.

Hal ini juga disebutkan oleh King (2014) bahwa serangan panik terjadi secara berulang kali dan tiba-tiba, tanpa ada peringatan sebelumnya dan penyebab ketakutan yang spesifik.

Kemunculan serangan panik berkaitan dengan empat situasi yang saling berkaitan satu sama lain.

Situasi pertama adalah seseorang mulai merasakan kekhawatiran secara terus menerus tentang serangan panik yang akan datang.

Situasi kedua adalah seseorang akan merasa khawatir tentang konsekuensi yang mungkin akan muncul dari serangan panik tersebut.

Situasi ketiga adalah seseorang akan mengalami perubahan perilaku yang signifikan terkait dengan serangan, seperti menghindari kemunculan situasi yang dapat membuat serangan paniknya kambuh, dan keluar rumah tanpa didampingi siapapun.

Situasi yang terakhir adalah kombinasi dari salah satu situasi yang ada di atas (APA Dictionary of Psychology, 2018).

Menurut King (2020), jiika dilihat dari faktor sosiokultural, perempuan memiliki peluang lebih besar untuk mengalami serangan panik dibandingkan laki-laki, karena terdapat perbedaan hormon dan perbedaan cara merespons situasi yang membuat mereka cemas.

Berdasarkan data dari Nolen-Hoeksema (2014), pasien serangan panik akan mulai merasakan panik ketika dihadapkan dengan situasi yang membuatnya tidak nyaman dan ketakutan, misalnya jauh dari rumah dan dipaksa melakukan suatu hal.

Saat serangan panik sedang terjadi, seseorang akan berkeringat, jantungnya berdetak lebih cepat, gemetar, sesak napas yang ekstrem, perasaan tercekik, munculnya rasa tidak nyaman di bagian dada, mual, pusing, menggigil, parestesia (perasaan mati rasa atau kesemutan), derealisasi (perasaan tidak nyata), depersonalisasi (hilang kendali atas diri sendiri), dan takut dengan kematian.

Hal ini juga disebutkan oleh Kring dan rekan-rekan (2014), seringkali mereka memiliki keinginan yang kuat untuk melarikan diri dari situasi apapun yang dapat menyebabkan serangan panik kambuh.

Gejala-gejala tersebut cenderung muncul dengan sangat cepat dan mencapai puncak intensitasnya dalam waktu 10 menit. Saat gejalanya muncul, seseorang mungkin merasa dirinya sedang mengalami serangan jantung (King, 2020).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com