JAKARTA, KOMPAS.com – Tone deaf adalah buta nada, jika diartikan secara harfiah.
Namun, dalam konteks sosial, tone deaf adalah situasi ketika seseorang tidak peka terhadap perasaan orang lain atau apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya.
Psikolog sosial Hening Widyastuti menerangkan, tone deaf bisa terjadi di semua kalangan sosial dan ekonomi.
Baca juga: Apa Itu Tone Deaf? Ramai Dibahas di Medsos
“Tone deaf, tidak peka pada lingkungan sekitar yang terjadi pada seseorang, itu bisa terjadi di kalangan maupun di segmen masyarakat manapun. Menengah ke bawah, atau menengah ke atas,” ucap dia saat dihubungi Kompas.com, Jumat (23/8/2024).
Menurut dia, ini bisa terjadi karena dua faktor, yakni keluarga dan pertemanan.
Hening menuturkan, sebetulnya hati nurani manusia peka ketika melihat sesuatu yang tidak semestinya terjadi. Misalnya, saat melihat sesuatu yang sedih, seseorang bisa terbawa sedih.
Saat melihat sesuatu yang membuat seseorang merasa tidak nyaman karena seharusnya tidak terjadi, mereka tergerak ingin membantu.
“Tapi, bisa jadi situasi itu akan tertutup oleh mungkin keluarganya. Misalnya, orangtuanya bilang ‘enggak usah ikut-ikutan’ atau ikut campur urusan orang lain, dengan pertimbangan cari aman untuk ‘diri sendiri’,” ujar Hening.
Awalnya, manusia memang sudah peka akan situasi di sekitarnya. Namun, karena sudah “diwanti-wanti” oleh faktor eksternal, dalam hal ini keluarga, mereka pun “menutup mata” agar dirinya tetap aman.
“Jadi, kebetulan tipe orangnya bukan model berani, pemberontak, dan sebagainya. Model orangnya penurut. Kalau sudah ada wanti-wanti seperti itu, biasanya langsung mengkerut dan takut,” terang Hening.
Baca juga: Smart Parenting, Pola Asuh Modern untuk Milenial dan Gen-Z
Faktor lainnya yang membuat seseorang menjadi tone deaf adalah lingkup pertemanan. Teman-temannya enggan “menyadari” apa yang sedang terjadi di sekitar mereka dengan dalih “tidak usah ikut-ikutan urusan orang lain atau pihak lain”.
Hal tersebut serupa dengan peringatan yang diberikan pihak keluarga, yakni untuk mencari aman. Meski begitu, bukan berarti ada banyak orang yang tone deaf .
“Ada yang berani menyampaikan aspirasi demi kepentingan orang banyak, tapi ada juga yang takut. Itu (yang takut) kaitannya dengan psikologisnya dia sendiri. Memang enggak berani,” kata dia.
“Model orang yang penurut begitu, enggak terlalu banyak ambil risiko. Yang dia pikirkan hanyalah situasi aman untuk dirinya, (situasi) yang menguntungkan,” sambung Hening.
Baca juga: Bagaimana Cara Mempraktikkan Smart Parenting dengan Tepat?
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang