Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengulik Makna Deja Vu, Sesuatu yang Pernah Kita Alami Sebelumnya

KOMPAS.com - Sebuah lagu Olivia Rodrigo yang berjudul Deja Vu sepertinya mengingatkan kita pada suatu hal yang pernah kita alami sebelumnya.

Lagu Deja Vu menceritakan tentang kisah cinta dia dan pacar barunya yang ternyata punya kesamaan dan banyak mengalami kisah yang serupa di masa lalu.

Meskipun lagu tersebut menceritakan kisah cinta, namun deja vu pada faktanya sangat berkaitan dengan semua hal di dalam kehidupan.

Menurut laman Cleveland Clinic, hampir 97 persen orang pernah mengalami deja vu.

Jika ditelaah lebih lanjut mengenai maknanya, lantas apa itu deja vu?

Dalam bahasa Perancis, istilah tersebut memiliki makna pada sesuatu yang "sudah pernah terlihat".

Sehingga dapat dikatakan, de javu adalah sensasi saat kita merasakan, menemukan atau menjalani situasi yang begitu mirip dengan sesuatu yang pernah kita alami sebelumnya.

Lantas mengapa deja vu bisa terjadi?

Adakah penjelasan ilmiah yang mampu menjabarkan fenomena de javu ini?

Ahli saraf Jean Khoury, MD, dari Cleveland Clinic mengatakan bahwa de javu merupakan sensasi familiar yang salah.

"Otak menciptakan sensasi seolah-olah kita pernah mengalami situasi yang sama sebelumnya, tetapi kita tidak bisa mengingat dan mengidentifikasi situasi yang sebenarnya."

"Biasanya ada ketidaksesuaian antara rasa keakraban dan fakta bahwa situasi seharusnya tidak begitu sama," kata Khoury.

Menurut dia, situasi seperti ini biasanya terjadi akibat beberapa kondisi yang kita lalui setiap hari.

Misalnya saat kita mengambil rute jalan yang sama setiap hari.

Secara tidak langsung, otak akan mengingat rute tersebut, termasuk kondisi dan pemandangan di sekitarnya.

Lalu ada situasi yang mana kita merasakan seperti sudah pernah melakukan percakapan yang sama persis atau melihat skenario yang sangat spesifik di masa lalu.

Tetapi di sisi lain, sebetulnya situasi itu belum pernah terjadi atau kita alami.

Penyebab deja vu

Fenomena deja vu yang kita alami bukan berarti kita memiliki indra keenam atau sensitivitas terhadap hal-hal gaib atau bahkan ramalan.

Ada penjelasan ilmiah mengenai hal tersebut yang bisa digambarkan oleh hasil ilusi yang diciptakan otak manusia.

Singkatnya, telah terjadi gangguan fungsi otak.

Menurut Khoury, penyebab deja vu diperkirakan adanya miskomunikasi antara dua bagian otak.

"De javu disebabkan oleh hubungan disfungsional antara bagian otak yang berperan dalam ingatan dan keakraban," lanjutnya.

Secara umum, manusia pada dasarnya memiliki dua lobus temporal, satu sisi sistem saraf tersebut ada di kepala, kemudian bagian lainnya berada di atas pelipis.

Dua fungsi otak itu berperan dalam mengingat kata-kata, tempat yang pernah kita kunjungi, mengenali seseorang, memahami bahasa, dan menafsirkan emosi orang lain.

Kemudian di setiap lobus temporal ada yang namanya hippocampus, yang berperan dalam menyimpan ingatan jangka pendek.

Terkadang, di dalam situasi seperti kejang, hippocampus dan jaringan otak di sekitarnya dapat diaktifkan, dan menyebabkan kita mengalami pengalaman memori yang dianggap sebagai deja vu.

Seseorang yang mengalami deja vu sesekali maka dapat dikatakan normal.

Kemungkinan besar situasi ini terjadi pada orang di usia 15-25 tahun.

Seiring bertambahnya usia, pengalaman yang seperti ini dapat berkurang intensitasnya dan lebih sering terjadi di malam hari dan pada akhir pekan daripada selama hari kerja.

Menurut para pakar, mereka yang rentan mengalami deja vu ini adalah orang-orang dengan tingkat pendidikan yang tinggi, sering bepergian, orang yang selalu mengingat mimpinya hingga keyakinan tertentu.

"Deja vu adalah fenomena langka pada seseorang yang sehat. Biasanya hanya terjadi beberapa kali dalam setahun."

"Namun jika terjadi lebih sering atau dikaitkan dengan gejala lain, maka kondisi tersebut perlu diatasi," ungkap Khoury.

Pasalnya, dalam beberapa kasus, seseorang yang kerap mengalami deja vu memiliki gangguan kejang di area lobus temporal otak seperti gejala epilepsi lobus temporal.

Epilepsi lobus temporal ini biasanya disertai dengan gejala kejang tonik-klonik, yang ditandai dengan gejala otot-otot yang sulit dikendalikan.

Kata Khoury, seseorang yang mengalami epilepsi lobus temporal memiliki gejala yang sering kambuh, seperti hilangnya kesadaran, gemetar, menggigit lidah, dan kebingungan pasca kejang.

Maka dari itu, kondisi deja vu mungkin dapat menjadi tanda dari masalah kesehatan yang dialami seseorang.

"Stres dan kelelahan juga dapat menyebabkan deja vu."

"Tapi itu juga bisa menjadi tanda gangguan kejang, migrain dan gangguan yang memengaruhi fungsi daya ingat," papar dia.

Seseorang yang sering mengalami deja vu dan disertai dengan gejala seperti kebingungan, sakit kepala, kejang, gemetar, dan gejala lain yang mirip epilepsi perlu memeriksakan kondisi mereka ke dokter saraf.

https://lifestyle.kompas.com/read/2022/10/28/152338020/mengulik-makna-deja-vu-sesuatu-yang-pernah-kita-alami-sebelumnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke