Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Buas Menumpas: Introspeksi yang Mati

Kompas.com - 02/06/2017, 08:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

KOMPAS.com - Sebetulnya saya tidak bermaksud untuk menulis tentang harimau Sumatera. Tapi rasanya itu contoh terbaik yang ada saat ini.

Terbilang hanya tinggal berjumlah tiga ratusan ekor yang kini masih hidup di alam bebas, betapa ngenasnya melihat seekor harimau jantan berloreng indah di usianya yang baru 5 tahun mati dengan kelamin terpotong dan siksaan fisik yang mestinya tak layak dilakukan manusia yang katanya lebih beradab.

Pastinya, kelamin harimau jantan memiliki nilai jual. Entah jadi jimat atau jamu, tergantung kepercayaan yang dianut pasar pembeli.

Modus yang sama juga terjadi saat kasus pemburu cacing Sonari di Taman Nasional Pangrango yang akhirnya dibekuk.

Ada apa dengan bangsa ini, saat teknologi bahkan farmasi telah terbukti menyelamatkan begitu banyak orang, sementara masih ada sebagian orang berpegang pada kepercayaan yang barangkali pembuktiannya masih sebatas studi kasus?

Yang tak kalah menariknya, satu per satu insiden ‘diselesaikan’ dengan menyeret mereka semua ke ranah hukum, yang alih-alih membuat pelakunya jera, justru masalah asalnya tak terselesaikan.

Mirip seperti kanker otak yang sakit kepala tak terkira itu ditumpas hanya dengan tablet analgesik tiap tiga jam sekali.

Jujur, saya semakin ‘gumun’ melihat bagaimana orang-orang hanya sewot menumpas ini itu, ketimbang melihat dengan sedikit jujur bahwa apa yang bermunculan tak sesuai harapan tersebut semata-mata hanyalah sebentuk umpan balik – feedback – atas apa yang selama ini kita jalankan, yang menimbulkan efek samping tak disadari.

Harimau yang masuk perkampungan warga dan menyerang ternak – bisa jadi akibat lahan hidupnya di hutan kian merana.

Yang dihakimi seharusnya bukan si harimau, melainkan pertumbuhan manusia yang kian mengikis hutan-lah perlu dipertanyakan.

Begitu pula saat orang masih percaya ramuan ajaib yang mengorbankan makhluk hidup lain bahkan merusak hutan lindung demi sekantung cacing istimewa – lalu, ada apa dengan pengobatan standar demam tifoid? Bukankah di tahun 2017 lebih mudah mencari antibiotik sesuai resep dokter, yang sudah bukti ilmiah nyata?

Siapa yang mulai mendiskreditkan obat medik, lalu memberi angin beralih ke kepercayaan kuno yang tidak punya sertifikasi bahkan dosis menyembuhkan atau mematikan yang jelas?

Pasti ada yang tidak beres dalam perjalanan perkembangan pelayanan kesehatan standar dan hubungannya dengan pengobatan tradisional.

Kebingungan publik ditambah kepentingan ekonomi semakin membuat kisruh. Di satu pihak, tenaga kesehatan menganjurkan minum obat teratur hingga sembuh, di sisi lain, promosi minum jamu kian dikipas.

Akhirnya bukan hanya jamu masuk angin atau pegal linu, tapi komersialisasi jamu mulai merambah melesat cepat memasuki ranah penyakit infeksi hingga onkologi tanpa data penelitian yang memadai, selain sekadar studi kasus.

 

Radikalisme dunia kesehatan

Radikalisme dunia kesehatan belakangan ini menjadi kian ngeri, saat sebagian orang kehilangan kepercayaan dengan istilah mereka ‘medis barat’ – yang kian gaduh ditimpali informasi sepotong-sepotong dari sosial media dan media online yang mengutip berita tanpa konfirmasi pakar.

Seakan-akan kemoterapi membuat orang akhirnya harus cuci darah misalnya. Atau vaksin malah membuat bayi-bayi menderita autis.

Menumpas berita atau sekadar memberi label hoax tidak menyelesaikan masalah. Semua itu butuh introspeksi yang membuat kita semua perlu kerja keras.

Ada yang salah dengan pendidikan kesehatan jasmani sejak anak duduk di bangku sekolah dasar.

Coba saja lihat betapa ngenasnya, isi buku ajar masih saja menyebutkan 4 sehat 5 sempurna yang sudah usang dan contoh menu yang katanya ‘sehat’, tapi isinya gorengan mulai dari tempe hingga perkedel.

Ada yang salah juga dengan iklan yang mengandaikan makanan pabrikan bisa mengganti sayur dan buah yang sesungguhnya.

Ada yang salah dengan pembiaran terus menerus, sekali pun advokasi sudah lelah berkepanjangan berseteru dengan kepentingan ekonomi industri. Dan kesehatan selalu mengalah.

Sudah bukan jamannya lagi represi bisa diberlakukan. Yang ditekan tentu akan berontak. Yang dilawan tentu akan menyerang.

Radikalisme yang terjadi di segala aspek kehidupan kita saat ini hanyalah sebuah informasi - feedback – tentang apa yang selama ini telah kita biarkan.

Ada sebagian orang yang bisa jadi sudah muak dan lelah – sehingga berbalik arah seratus delapan puluh derajat.

Jika ‘ada yang salah’ dengan pendidikan kesehatan jasmani dan buku ajar gizi, lalu bagaimana dengan ajaran-ajaran yang lain? Lalu bagaimana dengan mata ajar Pancasila yang sudah hilang – bukan hanya kurikulumnya – tapi juga contoh hidupnya.

Jujur, saya masih dilanda kengerian yang sangat apabila kita menganggap enteng itu semua dan berharap ‘suatu hari ada orang yang akan membereskannya’.

Satria piningit itu tidak akan pernah ada, jika kita masih hidup dalam angan-angan. Dan anak-anak kita sama parahnya, hari ini mengandaikan ‘hidup baik-baik saja’ sambil sibuk dengan kenarsisannya memamerkan diri di dunia maya, di media sosial yang semu.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com