Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Pendapat Ahli Berdasarkan Besarnya Pendapatan

Kompas.com - 31/07/2017, 09:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

 

Makanan yang telah berevolusi bukan lagi makanan sehat

Marion Nestle – yang bukan apa-apanya perusahaan Nestle itu – dalam bukunya, “Food Politics” telak-telak menguak bagaimana industri pangan memengaruhi taraf gizi dan kesehatan, mulai dari level individu hingga bangsa.

Makanan yang berkembang secara budaya, tidak boleh lagi disebut sebagai pangan sehat jika telah melalui berbagai evolusi apalagi jika campur tangan politik ekonomi pangan terjalin di situ.

Seorang ahli gizi apalagi dokter yang tidak pernah mengikuti perkembangan ‘politik pangan’ dan antropologi pangan, akan punya pendapat tentang nutrisi yang patut dipertanyakan.

Sebut saja bagaimana tomat akhirnya dikategorikan Amerika sebagai sayur, padahal nyata-nyata bentuknya secara morfologi adalah buah – semata-mata karena pajak sayur lebih rendah ketimbang pajak buah.

Kebingungan soal pangan sehat dan bagaimana mengatur pola makan yang sehat (bukan hanya seimbang saja), akhirnya menjadi perdebatan tak kunjung usai.

Barangkali itu sebabnya Indonesia hingga kini masih enggan menempatkan buah dan sayur sebagai bagian dari karbohidrat, padahal semua negara maju mengamini sayur dan buah bahkan sebagai sumber karbohidrat terbaik. Jika dikonsumsi dengan jumlah yang banyak dan cara yang benar.

Di Indonesia, hadirnya sayur dan buah hanya tinggal ‘syarat’ ada saja. Bahkan sayur dituding sebagai penyebab asam urat, penyebar toksoplasma dan lebih gawat lagi: pengentalan darah. Tanpa ada penjelasan lebih lanjut. Kecuali ‘marketing of fear’.

Kestabilan ekonomi pangan, zona nyaman para pengimpor pangan nyata-nyata lebih dibela, ketimbang prioritas kesehatan. Memelihara status quo, dengan ledakan penyakit yang kian dahsyat, tagihan jaminan kesehatan yang makin menjerat.

Keluguan (atau arogansi) ahli kesehatan untuk bertahan pada pakem pengobatan, juga membuat hancurnya program promosi dan preventif.

Penelitian-penelitian seputar pangan masih berpihak pada kepentingan industri dan pemangku kepentingan. Anjuran para ahli sarat bernuansa kepentingan.

Dibutuhkan urat tebal dan nyali kuat untuk membenahi tatanan kesehatan dan kaitannya dengan pangan rakyat. Kerja keras yang tak kunjung usai.

Seperti tulisan yang selalu menempel di meja tulis anak saya: Istiqomah itu memang berat, kalau ringan namanya istirahat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com