Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Fast Fashion", Tren Mode yang Lestarikan Sifat Konsumtif?

Kompas.com - 15/03/2019, 16:09 WIB
Ariska Puspita Anggraini,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

Namun, biaya rendah dan perputaran cepat fast fashion memang mudah rusak dan mendorong konsumen untuk kembali membeli.

Dalam setahum, sebanyak tiga dari lima produk fast fashion berakhir di tempat pembuangan sampah atau insinerasi alias pembakaran sampah. Sebanyak 235 juta di antaranya terjadi pada tahun 2017.

Menurut Sumner, nilai pakaian telah menurun.

Baca juga: Merek Fesyen Milik Justin Bieber Luncurkan Koleksi Baru

Berdasarkan penelitiannya, orang juga membuang atau menyumbangkan pakaian yang sebagian besar adalah produk yang berfungsi sempurna.

Alasannya karena pakaian telah usang, demikian menurut Sumner - meskipun dia menyebut kualitas menurun dan orang memilih membuangnya karena warna pakaian mulai kusam.

"Nilai bukan hanya yang terlihat, tetapi juga hubungan emosional yang kita miliki dengan pakaian," kata dia.

Sekali lagi, mentalitas ini tidak terbatas pada fast fashion tetapi merupakan budaya yang jauh lebih luas.

Orang tertarik pada yang murah, dan lebih memilih membeli yang baru daripada memperbaikinya.

"Saya yakin jika Anda memeriksa lemari pakaian, Anda mungkin akan menemukan barang-barang fast fashion yang Anda beli lima tahun yang lalu."

"Tetapi Anda memiliki hubungan emosional dengan pakaian itu, yang berarti Anda menyimpannya," kata Sumner.

Menurut dia, ini sama halnya saat seseorang jatuh cinta dengan suatu produk, maka kita akan menyumbangkannya atau menyimpannya di lemari.

Pada akhirnya, apa yang benar-benar membentuk industri fesyen, baik fast fashion atau slow fashion, adalah keputusan konsumen untuk menyimpan atau membuang produk yang dibelinya.

"Pakaian akan bertahan selama Anda merawatnya," kata de Castro.

Lalu, apakah fast fashion merusak bumi?

Menurut de Castro, fast fashion tidak merusak bumi tetapi manusialah yang melakukannya.

"Sebesar 93 miliar ton air terbuang dan 1,3 miliar ton karbon dioksida yang dihasilkan dalam produksi tekstil di seluruh dunia setiap tahun memang turut menyumbang kerusakan bumi," ucapnya.

Namun, Sumner mengatakan, fast fashion atau slow fashion hanyalah penyebab pencemaran bumi terbesar nomor empat di dunia setelah rumah tangga, transportasi, dan makanan.

Ini bukan berarti kita tak memerlukan perubahan dengan cepat. Ini hanya menegaskan jika fast fashion bukan satu-satunya penyebab rusaknya bumi.

"Fesyen, seperti semua industri, harus memperhitungkan dampak dan praktiknya, dan tanggung jawabnya dalam membentuk masa depan yang lebih baik," ucap Sumner.

Demi menyeimbangkan semua ini, kata Sumner, fast fashion telah melakukan beberapa hal yang sangat positif bagi individu.

"Ini memungkinkan orang mengakses mode untuk menciptakan identitas diri mereka. Ini mendemokratisasi industri. Kelemahannya adalah budaya konsumsi ini," tambah dia.

Baca juga: Ivan Gunawan Bicara Tren Fesyen Pria yang Sporty Look dan Free Style

Industri fesyen yang layak untuk masa depan

Menurut Sumner, perlu kelayakan dalam industri ini.

Ia mengatakan, perlunya rancangan pakaian yang lebih mudah terurai secara hayati atau didaur ulang.

“Itu berpotensi menghasilkan yang lebih baik daripada saat ini,” ucap dia.

Dengan pandangan optimistis, Sumner yakin semua itu bisa terjadi.

Menyewa pakaian juga dapat membantu memenuhi kebutuhan gaya. Namun, sikap ini dapat mengubah banyak hal jika kita mengubah budaya konsumsi.

Tahun 2015, industri garmen memproduksi 100 miliar produk, sedangkan jumlah manusia di planet ini hanya tujuh miliar.

Jika kita tak segera mengubah budaya konsumtif ini, perubahan iklim, krisis air, dan energi akan terjadi.

Ya, meskipun pembangkit listrik Swedia membakar pakaaian H&M yang dibuang, namun ini tak bersifat ramah lingkungan dan berkelanjutan, ini tak mengubah banyak hal.

“Pakaian akan menjadi jauh lebih mahal, dan kita harus mengurangi jumlah yang kita produksi. Sayangnya, jika kita sampai pada tahap itu, sudah terlambat," ucap Sumner.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com