Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Mengajar Tanpa Mendidik: Punya Ilmu Tanpa Rasa Malu

Kompas.com - 20/01/2020, 11:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

Tidak perlu heran juga, jika sebagian besar ahli gizi yang tak kenal ontologi masih tega-teganya bilang,”Wah orang Indonesia kan memang budayanya makan nasi.”

Padahal padi baru dikenal sebagai beras yang dimasak jadi nasi oleh orang Jawa baru sekitar abad ke 15, itu pun karena dibawa oleh pedagang India.

Indonesia, artinya termasuk Papua bukan? Nah ini lebih keterlaluan lagi. Sejak kapan orang Papua meninggalkan sagu mereka demi agar kelihatan ‘mirip orang Jawa’? Belum lagi ada wacana proyek tanam padi di Papua.

Ilmuwan yang memahami ontologi kerap frustrasi. Mengapa? Karena ia menjadi kritis, dan pemikiran kritisnya dianggap bahaya oleh rekan-rekannya yang ingin hidup ‘aman-aman saja’. Ikut arus. Kalau perlu meraup untung dari arus sekarang.

Jadi jangan salahkan BPJS banyak menunggak. Tanyakan, mengapa tenaga kesehatan lebih pintar jika ditanya seputar epistemologi.

Gula darah naik? Beri obat diabetes. Susah amat. Bahkan yang katanya masih tahap pra-diabetes pun cepat atau lambat akhirnya jadi diabetes betulan.

Baca juga: Kemopreventif, Kemoterapi, Kemopaliatif: Mana yang Tepat?

Pasiennya bandel tapi kaya, dan takut stroke atau gagal ginjal? Tawarkan terapi terbaru: stem cell. Jangan tawarkan pemahaman manusia itu mestinya makan apa untuk hidup sehat. Percuma.

Maunya si kaya, bisa makan apa saja – termasuk yang katanya enak di lidah tapi tidak dibutuhkan tubuh – namun di sisi lain: tetap minta berumur panjang.

Jadi tidak heran apabila ada tanggapan nyinyir, bahwa penemuan-penemuan baru super mahal di bidang kesehatan itu tak lain hanya untuk melayani para orang kaya yang takut mati.

Upaya promotif dan preventif akhirnya hanya seperti dongeng sebelum tidur yang berusaha ditancapkan ke benak orang miskin – sebab negara susah jadinya, jika banyak di antara mereka yang harus berobat. Apalagi jika penyakitnya meniru orang kaya.

Keberpihakan ini sudah terasa sebelum mereka sakit. Beli shampo buat keramas pun, yang sanggup beli satu liter sekaligus hanya yang punya uang lebih banyak.

Jelas satu liter lebih murah daripada beli sachet-an. Sedangkan si miskin hanya bisa beli versi sachet-an.

Begitu pula dengan bayar uang sekolah, yang katanya dapat diskon dari Yayasan jika sekaligus bisa bayar di muka untuk tagihan setahun penuh.

Siapa yang menikmati diskon? Tentu hanya yang punya uang banyak bisa bayar plus diskon.

Baca juga: Teknologi: Kemajuan, Kebutuhan, Ketergantungan atau Versi Baru Penjajahan?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com