Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lockdown karena Virus Corona Sebenarnya Seperti Apa?

Kompas.com - 20/03/2020, 15:32 WIB
Wisnubrata

Editor

Sumber

Sebaliknya, secara nasional, angka infeksi virus corona di Tiongkok masih bertambah sebanyak 34 kasus. Namun, sebagian besarnya merupakan imported case atau berasal dari orang yang baru pulang dari luar negeri.

Lantas, apakah ini satu-satunya jalan? Jawabannya adalah belum tentu. Negara seperti Singapura dan Korea Selatan sejauh ini tidak memberlakukan lockdown dan mereka tetap mampu menahan laju persebaran dengan tingkat kematian akibat COVID-19 yang rendah.

Namun, tentu kedua negara tadi juga melakukan pencegahan tersendiri. Korea Selatan misalnya, menjadi negara dengan jumlah pemeriksaan COVID-19 paling banyak per kapita di dunia. Negara ini sudah melakukan tes virus corona pada kurang lebih 290.000 orang warganya.

Baca juga: Cerita Survivor Corona Asal Korea, Sempat Pede Tak Bakal Terinfeksi

Cara ini rupanya efektif untuk menekan angka penyebaran. Sebab, banyak kasus bisa diketahui sejak dini melalui langkah ini. Sehingga, pasien positif tersebut tidak sempat menyebarkannya ke orang lain.

Dari data yang dilansir Reuters, jumlah pasien baru positif corona di Korea Selatan per 18 Maret 2020 turun drastis menjadi 93 orang per hari, setelah dua minggu sebelumnya menyentuh angka 909 infeksi baru per hari.

Jadi, jika ditanya manakah yang paling efektif, rasanya itu semua tergantung dari keseriusan langkah pencegahan itu sendiri, apapun metodenya.

Dampak lockdown untuk penduduk dari sisi kesehatan

Lockdown ampuh menahan laju persebaran virus. Sebab dengan lockdown, masyarakat mau tidak mau harus berdiam diri di rumah.

Toko-toko tutup, kantor, sekolah, hingga pusat ibadah pun sama. Kebijakan ini membuat virus tidak bisa dengan mudah menempel dari satu orang ke orang lainnya.

Namun di balik kebijakan tersebut, juga muncul berbagai masalah baru, mulai dari sisi ekonomi hingga kesehatan.

Dilansir dari NPR, Dr. Laura Hawryluck, profesor bidang kedokteran perawatan kritis dari University of Toronto, mengatakan bahwa banyak warga di Wuhan yang sebenarnya tidak sakit secara fisik, mengalami gangguan kecemasan yang parah, perasaan terisolasi dan stres sejak kebijakan lockdown dijalankan.

Laura menambahkan bahwa stres yang dirasakan merupakan akumulasi dari rasa takut tertular penyakit, rasa takut menularkan ke orang terdekat, dan kecemasan soal penghasilan yang hilang tiba-tiba, karena mereka sudah tidak lagi bisa bekerja.

Baca juga: Mengatasi Stres di Tengah Ancaman Virus Corona

Tanpa lockdown pun, pandemi virus corona sudah memicu masalah mental yang cukup serius.

Penelitan lain yang dilakukan di Tiongkok menyebutkan bahwa penyebaran penyakit ini memicu naiknya angka berbagai masalah mental, terutama depresi, gangguan kecemasan, dan gangguan panik.

Penelitian ini dilakukan pada 52.730 orang responden dari 36 Provinsi di Tiongkok. Selain itu, penelitan juga mengikutsertakan responden yang berasal dari Macau, Taiwan, dan Hongkong.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com