”Indonesia kurang memperhatikan penanganan penyakit infeksi. Kalau mau tuntas, penanganan harus berkesinambungan dari identifikasi hingga pengobatan,” kata Manajer Ventura Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) Ari Fahrial Syam di Jakarta, Senin (19/12).
Profil Kesehatan Indonesia 2010 menunjukkan, prevalensi dan jumlah kasus penyakit infeksi di Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara ASEAN lain. Prevalensi tuberkulosis Indonesia hanya lebih baik dibandingkan Kamboja, Myanmar, Filipina, dan Vietnam. Untuk penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, Indonesia memiliki kasus terbanyak untuk difteri, campak, dan tetanus neonatorum (pada bayi baru lahir).
Statistik Kesehatan Dunia yang dikeluarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2011 menunjukkan, Indonesia memiliki banyak kasus difteri, lepra, malaria, campak, batuk rejan (pertusis), dan campak Jerman (rubella). Penyakit-penyakit itu sudah jarang ditemukan di negara maju, tetapi banyak ditemukan di negara berkembang dan miskin.
Menurut Ari, sejumlah penyakit infeksi dapat dicegah melalui budaya hidup sehat, seperti mencuci tangan. Hal yang sering
Kebiasaan hidup sehat juga bergantung sarana sanitasi yang menjadi tanggung jawab negara. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 2010, sebanyak 80 persen penduduk Indonesia sudah menggunakan air bersih dan 52 persen penduduk menggunakan sarana sanitasi sehat. Namun, terjadi ketimpangan dalam mengakses sumber air bersih.
Menurut Ari, dokter berperan penting menuntaskan penyakit infeksi melalui pemberian antibiotik secara rasional. Dokter berwenang memberikan antibiotik. Namun, tidak semua penyakit infeksi harus disembuhkan dengan antibiotik.
”Jika harus memberi antibiotik, dokter harus mengedukasi pasien agar mengonsumsi antibiotik dengan benar,” ujarnya.
Kepala Departemen Mikrobiologi FK UI Anis Karuniawati mengatakan, di Eropa, dokter akan meminta laboratorium menguji dahulu sebelum memberikan antibiotik kepada pasien. Hal ini untuk menentukan jenis bakteri dan uji sensitivitas sehingga antibiotik yang diberikan sesuai karakter mikroorganismenya.
”Terapi empirik antibiotik hanya diberikan dalam kondisi darurat,” ujar Anis.
Namun, uji laboratorium kurang banyak dilakukan di Indonesia karena dianggap lama. Padahal, dengan kemajuan teknologi saat ini, hanya perlu waktu sekitar tiga hari untuk mengetahui jenis bakteri dan sensitivitasnya terhadap antibiotik.