Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sahabat, Menjaga Asa Pangkas Rambut Klasik di Tengah Modernitas...

MALANG, KOMPAS.com - Boleh dibilang, hampir di setiap sudut kota-kota besar kini bisa ditemukan pangkas rambut berkonsep modern.

Dengan menyebut dirinya sebagai barbershop, mereka menjelma menjadi ‘teman’ bagi kalangan muda. 

Lantas, bagaimana nasib para pangkas rambut yang sempat menjadi ‘teman’ kalangan muda—kini sudah berusia lanjut—dahulu?

Kompas.com, dalam Chief Barber Voyage 2018, berkesempatan menemui salah satu pangkas rambut tertua di Malang—Sahabat.

Berdiri sejak 1965, Sahabat didirikan warga keturunan Tionghoa, Chen Chung Ren. Di masanya, Sahabat menjadi pangkas rambut idola. 

Sebagian besar adalah warga Malang, dan sisanya adalah turis yang kebetulan menyambangi Kota Apel itu.

Sahabat kini dipegang generasi keempat, cicit dari Chung Ren—Ling-Ling, yang kini menetap di Kediri, Jawa Timur.

Kendati di bawah Ling, Sahabat diurus penuh oleh para pemangkas yang sudah berusia lanjut—Subakri (86), Muhammad Nur (68) dan Sukadi (68).

Sukardi berkisah, sejak berdirinya, Sahabat sudah tiga kali berpindah tempat, hingga kini berlokasi di kompleks pertokoan Kayutangan.

Momentum paling ramai adalah tahun 1970-an hingga menjelang tahun 2000.

Di masa-masa itu, para pelanggan bisa mencapai jumlah lebih dari 30 setiap hari. Pangkas ini menjadi idola karena teknik potongan rapi dan mengikuti tren di masanya.

Sebut saja, potongan klasik Hollywood atau Tionghoa di masa-masa tersebut. 

Naik ‘kelas’

Untuk masuk ke Sahabat juga tidaklah mudah. Sukadi, misalnya, dia mulai berada di pangkas rambut Sahabat sejak pertama kali berdiri.

Dia memulai dengan membantu bersih-bersih, saat masih berusia 15 tahun. Baru mulai tahun 81, Sukadi mulai dipercaya menjadi pencukur.

“Saat itu bos tanya, apakah saya mau belajar pangkas? Dengan senang hati bilang iya, karena ini kan keahlian dan tidak ada risiko,” ujar Sukadi.

Dia mulai belajar sedari membersihkan telinga, pangkas rambut wajah hingga terakhir kepala.

Beruntung Sukadi cepat menangkap, dan kini masih dipercaya menjadi salah satu pemangkas rambut Sahabat.

Cerita lain dituturkan Nur yang mulai bekerja sejak tahun 1975. Nur tak memiliki pengalaman di bidang pangkas rambut, hingga akhirnya tertarik dan mulai belajar pangkas rambut.

Nur tertarik setelah melihat pangkas rambut tak ada risiko, karena tekanan kerja kecil.

Nur yang memulai dari bawah kini dipercaya mengurus Sahabat. Ini didapat karena ketekunan Nur.

Dari pengalaman puluhan tahun berkarir, dia membagikan beberapa ‘resep’ khusus untuk menjadi pemangkas andal.

“Penting untuk belajar tata krama terhadap tamu,” kata Nur.

Selain itu, perlu juga menjaga jarak agar napas pemangkas tidak terasa oleh tamu. Jaga jarak artinya mencukur dalam posisi tegap, tidak terlalu membungkuk.

“Awal-awal, kalau untuk menghindari gemetar, jangan lihat dia di kaca. Anggap saja barang. Nanti kalau sudah terbiasa, baru bisa,” ujar Nur.

Menjaga asa

Kendati sudah melewati masa kejayaan, Sahabat tetap eksis. Sayangnya, Nur mengibaratkan tempat dia mencari nafkah puluhan tahun sebagai ‘hidup segan mati tak mau’.

Hal ini tak lepas dari pelanggan yang kian ke mari tambah berkurang. Kondisi itu membuat mereka bekerja keras memutar otak untuk menghidupi diri, sekaligus menjalankan pangkas rambut ini.

“Harapan cuma satu, tempat ini jangan sampai tutup. Aku enggak tahu gimana caranya,” ungkap Nur.

Sementara itu Director of Marketing Chief Company Oky Andries mengungkapkan, perjalanan Chief Barber Voyage 2018 ke Sahabat untuk menggali lebih dalam tradisi salah satu pangkas rambut modern classic tertua di Malang.

Terlepas dari kondisi saat ini, Sahabat, menurut Oky, sudah menerapkan prosedur standar operasi sesuai, serta memiliki motivasi tetap otentik.

“Enggak ada salah menjadi barbershop tua yang otentik,” ungkap Oky.

Namun, ke depan perlu pembenahan dari sisi pemasaran, sehingga tetap mampu bertahan di tengah modernitas para pelaku pangkas rambut.

https://lifestyle.kompas.com/read/2018/08/25/221342320/sahabat-menjaga-asa-pangkas-rambut-klasik-di-tengah-modernitas

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke