Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Thrifting, Ramah di Kantong tapi Bukan Jaminan Ramah Lingkungan

Baju-baju bekas yang dianggap masih layak dipilih, ditebus dengan harga murah lalu dipadu-padankan dengan kreatif sendiri.

Maka jadilah penampilan penuh gaya yang unik dan ramah di kantong, bermodalkan kreativitas masing-masing.

Memang ada kepuasan tersendiri ketika kita bisa memaksimalkan penampilan dengan baju bekas impor tanpa kehilangan daya tariknya.

Intan Anggita Pratiwie, co-founder dari Setali Indonesia, social enterprise yang mengusung semangat fesyen berkelanjutan mengatakan daya tarik utama thrifting tak bisa lepas dari tren fashion street style.

"Daya tariknya karena tren fashion street style yang mulai digandrungi di media sosial sejak 5 tahun terakhir," jelasnya kepada Kompas.com, beberapa waktu lalu.

Tren ini yang menghapus stigma negatif pakaian preloved sebagai barang sisa dan tidak layak digunakan menjadi lebih disukai semakin banyak orang.

Tidak murni ramah lingkungan

Ada juga yang berpendapat praktik thrifting sejalan dengan prinsip ramah lingkungan dibandingkan membeli pakaian baru dari merek fast fashion.

Para penggunanya berdalih tren ini memperpanjang usia pakai item tersebut sehingga bisa dikategorikan sustainable fashion.

Intan, yang merupakan praktisi daur ulang fashion, berpendapat opini tersebut memang bisa tergolong dalam poin reuse dalam sustainable fashion.

"Namun untuk mencapai sirkular fashion, diharapkan baju yang direuse dimulai dari lingkungan sekitar dulu," terangnya.

Faktanya, produk thrifting yang sekarang banyak beredar merupakan pakaian bekas yang diimpor dari negara lain.

Barang tersebut masuk ke Indonesia sebagai produk buangan atau donasi dari negara lain lalu laku dalam mode-mode tertentu.

Kebanyakan para penjual juga mendapatkannya dengan sistem pembelian berupa bal-bal yang isinya campur aduk.

Alih-alih menjadi gerakan ramah lingkungan, sisa barang yang tidak diminati ini kemudian akan menambahkan jumlah sampah fashion baru di Indonesia.

"Apalagi demand yang sangat membludak akhir-akhir ini," tambah Intan, yang merupakan penulis "Dunia Dalam Lemari".

Dampaknya pada sekitar

Sejumlah kalangan menilai tren thrifting bisa mengancam industri pakaian lokal karena kehilangan peminat.

Intan meyakini, hal tersebut tidak akan berpengaruh karena segmen peminatnya maupun style yang berbeda.

Hanya saja, seniman recycling fashion waste ini memperingatkan soal risiko tren ini dimonetisasi oleh pihak ketiga yang mengambil margin tinggi.

"Demand besar, supply barang import bertambah tinggi, yang tadinya keseruan itu karena mendapat good deal, dicuci kembali dan ramah kantong mahasiswa, menjadi sebaliknya," urainya.

Menurutnya, akan lebih baik jika kita mulai memberikan perhatian pada barang bekas yang ada di sekitar kita jika memang tujuannya adalah fashion berkelanjutan.

"Dampaknya bisa baik kalau dimulai dari barang bekas yang ada di sekitar kita, bukan barang import," katanya.

"Kalau sesekali membeli langsung untuk "pengalaman seru" gapapa," kata Intan.

https://lifestyle.kompas.com/read/2023/04/04/200018720/thrifting-ramah-di-kantong-tapi-bukan-jaminan-ramah-lingkungan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke