Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pseudo-productivity, Cara Bekerja Salah yang Bisa Bikin Stres

JAKARTA, KOMPAS.com - Kalimat "kerja dengan produktif" sering digaungkan dalam ranah pekerjaan.

Tujuannya untuk membuat setiap karyawan lebih semangat dalam bekerja, dan siapa tahu menerima bonus karena lebih giat daripada karyawan lain.

Akan tetapi, ada anggapa yang salah tentang produktivitas dalam pekerjaan, sehingga membuatnya menjadi pseudo-productivity atau produktivitas semu.

Apa itu pseudo-productivity?

Praktisi mindfulness Adjie Santosoputro mengatakan, pseudo-productivity mengacu pada orang-orang yang melakukan banyak hal dalam pekerjaannya seolah-olah produktif, tetapi sebenarnya hanya sibuk saja.

Biasanya hal ini terjadi ketika seseorang melakukan banyak hal, namun yang dikerjakan tidak penting sehingga tidak produktif.

Adapun, istilah diperoleh dari sebuah buku karya Cal Newport yang berjudul Slow Productivity".

"Salah satu poin penting di buku itu adalah, dia menyoroti pseudo-productivity. Semakin banyak yang dikerjakan, kamu merasa produktif banget," ucap dia dalam Waktunya Rehat Festival di Plaza Indonesia, Jakarta, Sabtu (22/6/2024).

Adjie menyinggung pemahaman masyarakat ang menganggap kerja secara produktif berarti kerja keras. Semakin keras seseorang bekerja, maka hasilnya akan lebih baik.

Namun, ini justru membuatmu memikirkan apa saja yang sudah dikerjakan sepanjang hari pada malam hari.

"Produktivitas hanya ditakar, hanya dinilai, berdasarkan kuantitas. Banyak orang yang memahami produktivitas di pseudo-productivity itu," papar Adjie.

Tak kenal ruang dan waktu

Dahulu, sebelum penggunaan teknologi semasif saat ini, masyarakat masih mengenal konsep "work and life".

Alasannya, peralatan kerja seperti komputer hanya berada di kantor. Dengan kata lain, kamu hanya bekerja di kantor karena ranah "work" ada di sana.

Ketika jam kerja sudah selesai dan kamu tiba di rumah, kamu sudah tidak bekerja dan masuk ke ranah "life".

""Work and life" dibatasi ruang dan waktu. Zaman dulu, batas waktu jelas, 09.00-17.00 WIB kerja. Di luar itu life," Adjie berujar.

"Karena teknologi, dimensi ruang dan waktu berbaur untuk semuanya, tidak ada batas. Pseudo-productivity bertemu dengan kecanggihan teknologi, maka kesehatan yang dikorbankan," lanjut dia.

Ini membuat beberapa orang sudah memikirkan pekerjaan sesaat setelah bangun tidur.

Mungkin, ada pula orang-orang yang terpaksa ikut rapat meski sedang berada di kamar mandi.

Sebelum tidur, yang dipikirkan hanyalah pekerjaan bukannya persiapan untuk beristirahat.

"Bahkan, ada orang tidur malah mimpi kerjaan," ungkap Adjie.

Pamer kesibukan di media sosial

Adjie mengungkapkan, orang-orang seperti itu menganggap, mereka dinilai produktif ketika memiliki banyak hal yang harus dikerjakan.

Pada akhirnya, yang mereka dapat bukanlah kesehatan tetapi perasaan stres dan burnout.

Ditambah, saat ini orang-orang malah sibuk berlomba-lomba memamerkan kesibukannya di media sosial agar dianggap sebagai individu yang produktif.

Semakin sibuk seseorang, mereka akan merasa semakin keren karena dianggap "ada".

"Ini kalau dirunut, beberapa penyebabnya adalah pola asuh dan pendidikan yang menekankan bahwa hidup harus sibuk. Kamu hanya diapresiasi dan dianggap "orang" kalau sibuk," jelas Adjie.

Padahal, menurut Adjie, hal yang membuatmu keren adalah mengunggah betapa luangnya waktumu dan santainya kehidupanmu di media sosial.

Dengan kata lain, kamu mampu memberi batas pada pekerjaan dan kehidupan, serta mampu bekerja secara sehat.

https://lifestyle.kompas.com/read/2024/06/25/083250920/pseudo-productivity-cara-bekerja-salah-yang-bisa-bikin-stres

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke